Dalam tigapuluh tahun terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia meningkat tiga kali lipat. Diantara komoditas utama minyak nabati, minyak kelapa sawit jauh meraih tingkat pertumbuhan paling tinggi: produksinya mencapai hingga sepuluh kali lipat, sehingga besarnya jumlah konsumsi minyak kelapa sawit diantara minyak nabati lainnya telah mencapai 34 persen yang tadinya hanya 11 persen.

Bahkan kalau produksi minyak biji sawit ikut dihitung, maka besarnya mencapai 38 persen (Teoh 2010:7). Minyak kelapa sawit dapat diperoleh dari daging buah kelapa sawit itu sendiri atau dari perasan biji sawitnya yang disebut dengan minyak biji sawit.

Indonesia melonjak naik menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada musim panen 2009/10 negara kepulauan ini menghasilkan 21 juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit dunia yang berjumlah 45 juta ton. Sebanyak 18 juta ton lainnya berasal dari Malaysia. Di samping minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari perasan buah kelapa sawit, pada tahun panen 2009/10 juga terhitung 5,3 juta ton minyak biji sawit – yaitu minyak dari perasan biji sawit – yang masuk ke pasar dunia. Indonesia mendominasi pasar ini dengan 2,3 juta ton produksi, disusul Malaysia dengan angka 2,1 juta ton (USDA 2010a; Toepfer 2009: 35).

Data mengenai luas lahan kelapa sawit sangat bervariasi, tergantung sumbernya. Departemen Pertanian Amerika Serikat memperkirakan bahwa Indonesia pada tahun 2009 telah menanam kelapa sawit pada lahan seluas kira-kira 7,3 juta hektar. Organisasi-organisasi non-pemerintah bahkan memperhitungkan sampai 9,2 juta hektar (USDA 2009; SPKS 2010).

Pada tahun 2008 tercatat sekitar 1,5 juta petani kecil di Indonesia yang menanam kelapa sawit dalam lahannya yang rata-rata hanya seluas 2 hektar. Sebagai bandingan, besarnya lahan yang dimiliki para pengusaha besar perkebunan dapat mencapai lebih dari 200.000 hektar (World Bank 2010: 14 – 23, USDA 2009). Sejumlah pemilik modal utama dari perusahaan-perusahaan kelapa sawit tersebut terhitung sebagai orang-orang terkaya di Indonesia. Perusahaan-perusahaan raksasa tersebutlah yang merupakan motor dari semakin meluasnya lahan perkebunan di Indonesia (FoE / Walhi 2009; EIA / Telepak 2009; Greenpeace 2010).

Sebenarnya hutan Indonesia dilindungi. Tetapi pemerintah mengizinkan penebangan hutan untuk keperluan perkebunan. Hal ini dimanfaatkan dengan baik oleh perusahaan-perusahaan besar dengan menebangi hutan, namun tidak membuka perkebunan. Diperkirakan hampir 12 juta hektar telah ditebang tanpa ditanami (World Bank 2010:14). Selalu saja terjadi pelanggaran hukum di lokasi-lokasi perkebunan kelapa sawit. Dalam 25 tahun terakhir ini, propinsi Riau di Sumatra kehilangan areal hutannya sebesar 65 persen untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau perkebunan akasia. Penebangan hutan bahkan juga terjadi di tempat-tempat yang sebenarnya termasuk dalam kawasan hutan lindung (WBGU 2008: 81).

Saat ini Indonesia merupakan negara ketiga terbesar di dunia yang mengeluarkan emisi gas-gas rumah kaca yang membahayakan iklim. 85 persen dari gas-gas tersebut dihasilkan akibat penggarapan lahan yang sebagian besar dilakukan dengan penebangan hutan hujan tropis dan perusakan tanah gambut (Greenpeace 2010a: 1). Selain itu banyak habitat tumbuh-tumbuhan dan hewan langka yang ikut punah karena tidak dapat bertahan dalam lingkungan monokultur perkebunan kelapa sawit.

Berdasarkan perkiraan Bank Dunia, terdapat 70 persen perkebunan kelapa sawit yang dibangun di atas areal hutan (4,2 juta hektar), 25 persen bahkan dibangun di atas lahan gambut (World Bank 2010: 14). Hanya sepertiga dari perusahaan-perusahaan yang menggunakan lahan tandus atau lahan yang sebelumnya ditanami dengan dengan tumbuhan lain (UNEP 2009: 65). Pada tahun-tahun terakhir, besarnya lahan gambut yang dipakai untuk perkebunan baru meningkat paling tidak menjadi 33 persen, di Riau, Sumatra bahkan mencapai 80 persen (Edwards / Mulligan / Marelli 2010: 141). Walaupun demikian, pemerintah Indonesia masih menganggap mungkin untuk memperluas perkebunan sampai 24 juta hektar.

Dengan adanya perluasan perkebunan sawit, tentu saja akan mengancam keberadaan hutan di Indonesia, karena banyak perkebunan-perkebunan raksasa yang tetap memilih areal hutan untuk membuka perkebunan baru. Hal ini dikarenakan tanah hutan tidak memerlukan pupuk yang banyak jika dibandingkan dengan tanah tandus, sehingga mereka bisa memetik keuntungan yang lebih besar (UNEP 2009: 64). Selain itu, hasil penjualan dari penebangan kayu dapat dijadikan modal awal untuk membuka perkebunan.

Dampaknya tentu akan dirasakan oleh penduduk di sekitar hutan yang selama ini banyak menggantungkan sumber pendapatannya kepada hasil hutan.

Catatan ini merupakan review terhadap Lembar Fakta yang disusun oleh  ”Brot für die Welt” dan ”Vereinte Evangelische Mission”, yang berjudul: “Minyak Kelapa Sawit: Perkembangan dan Resiko dari Ledakan Pasar Minyak kelapa sawit”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *