Pertanian itu dasar,
industri itu tulang punggung.
Perjuangan kaum PERGERAKAN untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat Indonesia dilakukan dengan melakukan perlawanan dan pengorganisasian untuk mengubah hubungan manusia dalam produksi yang didalamnya mengandung pemerasan, penghisapan dan penindasan atas manusia oleh manusia (kapitalistik). Arah perubahan yang hendak dituju adalah hubungan produksi dimana penguasaan alat-alat produksi harus berada di tangan tenaga-tenaga produktif masyarakat yang mengusahakannya secara kolektif untuk memenuhi keperluan hidup seluruh masyarakat, materil dan kulturil, tanpa mengadakan pemerasan dan penghisapan dalam bentuk apapun terhadap kaum pekerja. Sehingga tercapainya susunan ekonomi dimana tiap-tiap orang terjamin akan pekerjaan, pangan-sandang, perumahan serta kehidupan kultural dan spiritualnya secara layak.
Zaman Kolonial
- Pada periode ini, sistem ekonomi masih bersifat alamiah. Dalam pengertian bahwa produksi sepenuhnya di tujukan untuk keperluan sendiri, bukan untuk dijual ke pasar. Namun demikian, terjadi pula kelebihan produksi barang yang melebihi kebutuhan. Kelebihan barang tersebut kemudian yang mendorong terjadinya pertukaran. Pertukaran tersebut terjadi bukan untuk mencari keuntungan, namun lebih di dasarkan untuk memenuhi kebutuhan yang semakin meningkat. Dengan begitu, nilai suatu barang lebih ditentukan oleh kegunaannya daripada nilai tukarnya
- Dalam usaha agraris (pertanian), kaum petani untuk bercocok tanam sesuai dengan perintah kaum feudal. Sebagian dari hasil pertanian yang dijalankan petani di serahkan kepada tuan tanah sebagai upeti. Acapkali proporsi upeti lebih besar dari yang diperoleh petani. Kewajiban lain yang menyengsarakan adalah kerja wajib tanpa upah untuk kepentingan-kepentingan pekerjaan dan pelayanan bagi para kaum feodal. Sebagian dari hasil tani itu digunakan oleh tuan tanah untuk dipertukarkan dengan hasil produksi lain melalui perantara para pedagang. Hasil yang didapat dari pertukaran tersebut sepenuhnya menjadi milik para tuan tanah. Sistem feudal berlandaskan pada penghisapan kelas bangsawan dan tuan tanah atas kaum tani.
Zaman Kolonial
- Sejarah ekonomi bangsa Indonesia lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945.
- Corak produksi kapitalisme adalah perkakas asing yang dipergunakan untuk kepentingan asing yang dengan kekerasan mendesak sistem produksi kaum pribumi. Di Indonesia, sistem kapitalisme justru tumbuh menggunakan tangan-tangan kaum bangsawan feodal sebagai perantara utamanya. Begitu juga dengan imperialisme, sebagai tahap tertinggi kapitalisme, tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme di Indonesia. Secara de-jure, cengkeraman kapitalisme atau dikenal sebagai era kapitalisme awal di Indonesia, dimulai sejak 1870 ketika dimulainya corak produksi kapitalisme di Indonesia yang ditandai dengan terbitnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet 1870). Undang-undang ini pada dasarnya terbit dengan tujuan utama untuk memperkuat jaminan bagi bekerjanya modal. Namun secara de facto, cengkraman kapitalisme didahului jauh sebelumnya melalui penaklukan-penaklukan kerajaan di Nusantara
- Cengkraman kapitalisme pada corak ekonomi Indonesia ditandai oleh 4 (empat) ciri/corak utama, yaitu:
- Dengan lahirnya kebijakan kolonial dimana sistem produksi pertanian dengan sistem perkebunan besar yang sepenuhnya di tujukan untuk pemenuhan kebutuhan pasar, menggantikan pola pertanian subsisten. Kaum kolonialis memaksa kaum petani di Indonesia untuk menanam sejumlah tanaman ekspor dan menyerahkan hasilnya kepada pemerintah kolonial. Pemberlakuan sistem Cultuurstelsel (1830) adalah salah satu contoh pemerasan kaum kolonialis atas kaum petani di Indonesia. Sistem ini dijalankan atas prinsip kerja paksa dan tanam paksa;
- Perkebunan-perkebunan besar, terutama di luar Jawa, kekurangan tenaga kerja mengingat sebagian besar penduduk saat itu terkonsentrasi di pulau Jawa. Untuk kebutuhan itu pemerintah kolonial kemudian melakukan pengerahan tenaga kerja besar-besaran melalui program transmigrasi dan sistem kerja kontrak.
- Meluasnya penggunaan uang serta berdirinya lembaga keuangan untuk mendukung modal ekspansi kapitalisme di tanah jajahan. Keuntungan yang berlipat ganda setelah diterapkannya tanam paksa mengundang banyak lembaga keuangan yang kemudian dikenal dengan sebutan bank kultur. Beberapa diantaranya adalah: N.I. Handelsbank, Int. Cred Vereeniging, Dorepaal.Co, Bank Koloniale, Handeslvereeniging (1878) dan yang terbesar adalah Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) lembaga keuangan yang didirikan pada 1824;
- Meluasnya wilayah ekstrasi dan efektifnya Negara sebagai pendukung bagi bekerjanya sistem ini di tanah kolonial. Pesatnya industri pertanian di tanah jajahan terlihat dari semakin luasnya wilayah ekstrasi Negara colonial. Hingga tahun 1930, luas wilayah ekstrasi perkebunan mencapai lebih dari satu juta hektar dari sekitar tiga juta hektar yang disediakan. Di wilayah kehutanan, Regulasi perhutanan 1897 telah membuat hutan-hutan di Indonesia menjadi wilayah ekspolitasi bagi kebutuhan industri. Di Jawa saja, luas peruntukan hutan Jati bagi kebutuhan industri pada tahun 1930 mencapai 795.000 ha
Masa Pasca-Kemerdekaan
- Warisan struktural semacam ini tidak banyak berubah ketika kemerdekaan telah dicapai Indonesia pada 17 Agustus 1945. Seperti negara-negara lain yang baru lepas dari belenggu kolonialisme, setelah mendapatkan kedaulatan secara penuh tahun 1949, Indonesia menghadapi masalah perekonomian yang sangat mendesak untuk segera diatasi. Secara garis besar, masalah itu meliputi dua tuntutan: pertama, tugas untuk merehabilitasi perekonomian nasional yang telah mengalami kerusakan besar setelah pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan; dan kedua, tuntutan masyarakat luas untuk merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional;
- Pada tahun 1946 diselenggarakan Konferensi ekonomi di Yogyakarta membentuk Badan Perancang Ekonomi. April 1947 berubah menjadi Panitia Pemikir Siasat Ekonomi (PPSE)yang dipimpin M.Hatta. Program utamanya adalah mengembalikan milik asing kepada pemiliknya; memberi ganti rugi perusahaan asing yang diambil alih oleh negara; mengakui semua hutang Hindia Belanda (Belanda) sebelum jaman Jepang menjdi hutang Republik Indonesia; pembangunan indonesia akan dijalankan dengan bantuan modal asing dan impor dari negara-negara maju;
- Pada bulan November 1948, pemerintahan PM Hatta menerima semua kesepakatan Konferensi Meja Bundar. Berdasarkan keputusan Konferensi meja Bundar, Indonesia menerima hibah hutang luar negeri sebesar US $ 1.13 miliar yang harus dilunasi sepenuhnya pada pertengahan 1964. Ironisnya, sebagian besar beban hutang tersebut, sekitar US$ 800 million (setara. 3 Miliar Gulden) merupakan biaya yang dikeluarkan militer Belanda selama masa agresi militer untuk menaklukan kembali Indonesia.
- Selama periode 1949 -1957 Indonesia berusaha untuk mengubah struktur ekonomi kolonial dari ketergantungan pada ekspor tanaman perkebunan ke ekonomi industri yang lebih mandiri. Dengan sejumlah kesulitan, pemerintah Indonesia juga berusaha untuk mengalihkan kepemilikan modal dari asing ke nasional. Pada intinya, perubahan struktur dilakukan dengan berbagai cara, termasuk secara terbatas tetap mengijinkan beroperasinya produksi perusahaan dan modal-modal besar sembari menggunakan kewenangan Negara untuk mengontrol semua sektor yang dianggap penting seperti perbankan dan sector publik lainnya sebagai mesin pembentuk modal nasional.
- Pada bulan September 1950 PM Natsir memimpin kabinet. Pemerintah harus menjalankan hasil kesepakatan KMB. Program Ekonomi lalu dikembangkan oleh Soemitro Djojohadikusumo (menteri Perekonomian), Sjafruddin Prawiranegara dan Saroso Wirodihardjo (Kepala bank Industri negara) Program ekonomi kabinet Natsir disebut dgn Rencana Urgensi Perekonomian (RUP). Progam ini dijalankan oleh kabinet selanjutnya seperti PM Sukiman (maret 1951) dan kabinet Wilopo (Feb. 1952), Kabinet Ali (1953). Kekuasaan politik dominan di pemerintahan saat itu aalah Masjumi, PSI dan PNI moderat. Program RUP: Mengembalikan hak milik Belanda, memberikan hak konsensi dan izin baru bagi perusahaan-perusahaan belanda; semua hutang bekas Hindia Belanda harus dibayar oleh pemerintah RI; Mengembangkan industri kecil dan menengah yang dimiliki oleh orang Indonesia Asli. Dengan cara ini diharapkan atan terjadi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.Program ini kemudian dikenal dengan sebutan PROGRAM BENTENG. Program ini bertujuan untuk membangun kelas borjuasi pribumi dengan cara memberikan hak-hak istimewa kepada pengusaha pribumi dengan fasilitas kredit dan lisensi impor-ekspor untuk dapat bersaing dengan pengusaha keturunan Tionghoa. Dalam bidang produksi, pemogokan dan kenaikan upah dilarang karena dianggap menganggu produksi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi. Namun berbagai lisensi yang didapat oleh pengusaha pribumi dijual kepada pengusaha Tionghoa;
- Selama periode ini sekelompok kecil borjuis nasional yang bergantung pada perlindungan dan kebijakan subsidi negara melalui program Benteng. Program ini pada akhirnya menjadi sumbe utama bagi akumulasi modal oleh para borjuis komprador, rentenir dan kapitalis nasional. Pada akhir 1950an, secara perlahan perekonomian Indonesia mulai bergeser pada sistem kapitalisme Negara dan mulai sedikit membuka diri pada masuknya modal internasional. Hal ini tentu saja tidak lepas dari kondisi politik masa itu;
- Dominasi ekonomi asing masih sangat kuat. Hingga tahun 1952 diperkirakan 50 persen dari seluruh impor konsumen masih ditangani oleh empat perusahaan Belanda, dan 60 persen ekspor oleh delapan perusahaan Belanda. Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah beroperasi sejak jaman pemerintahan kolonial. “The Big Five” perusahaan Belanda yang terdiri dari Jacobson & van den Berg, Internatio, Borneo-Sumatra Maatschappij (Borsumij), Lindeteves, dan Geo Wehry, masih bertahan di urutan lima besar. Meskipun secara politis pengaruhnya sudah berkurang dibandingkan dengan jaman kolonial, namun jika ditotal, jumlah aset lima perusahaan itu bisa mencapai satu milyar dolar Amerika;
- Program nasionalisasi ekonomi dijalankan pada tahun 1957-1959, menyusul memanasnya persoalan pengembalian Papua Barat dari tangan Belanda ke RI, maka seluruh perusahaan Belanda – termasuk perusahaan-perusahaan perkebunan – diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Dalam proses pengambilalihan itu, terlibat pengalihan pemilikan 90% produksi perkebunan. Pengambilalihan ini melalui kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Indonesia pada tahun 1958, yaitu UU No.6 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan-perusahan milik Belanda di Indonesia.
- Pada periode ini, pemerintahan baru dibawah pimpinan PM Ali Sastromidjojo memutuskan untuk membatalkan semua program ekonomi hasil KMB 1948. Kabinet Ali lalu mendesain program ekonomi yang disebut Rencana Lima Tahun (RTL) 1956-1960. RTL bertujuan untuk menjalankan program mengganti ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional dgn cara membentuk perusahan negara dan memperkuat. Untuk itu program Nasionalisasi atas perusahaan asing sebagai warisan kolonial diberlakukan. Proses penguatan borjuasi pribumi seperti dalam RUP untuk menghadapi kekuatan ekonomi keturunan Tionghoa tetap dijalankan. Pada prakteknya RTL ini tak lebih dari RUP dimana pengusaha peribumi menjadi tergantung dengan fasilitas dari negara dan bidang ekonomi yang dijalakan tak lebih adalah bisnis rente sebagai agen impor dan ekspor. Program RTL kemudian memicu isu rasial anti Cina dan penyelundupan yang meluas di daerah-derah yang melibatkan tentara;
- Periode 1959-1965 dikenal dengan periode ekonomi terpimpin. Ekonomi Terpimpin (ET) adalah suatu upaya dari Soekarno untuk mencari jalan bagi pembangunan ekonomi Indonesia, guna membangun kemandirian ekonomi nasional yang memutus dari perekonomian kolonial, feodalisme dan imperialisme. Dengan ET Indonesia berusaha membangun perekonomian yang mandiri dan tidak tergantung dari konjungtur pasar internasional. Untuk tujuan itu pemerintah melakukan perombakan ekonomi yaitu dari ekonomi yang bersifat agraris menuju ekonomi industri dengan mekanisasi dalam bidang agraria. Tujuan ini ditegaskan oleh Soekarno pada tahun 1960 dengan mengatakan “pertanian adalah dasar sedangkan industri adalah tulang punggung”. ET dengan sendirinya bukan sekedar ‘pemecahan’ persoalan-persoalan ekonomi semata, tetapi sekaligus dalah ideologi dan politik dalam melaksanakan pembangunan. Ini sejalan dengan sikap pidato Soekarno untuk “membangun dunia yang baru” yang tidak akan mengekor pada blok perang dingin, baik komunis apalagi kekuatan kapitalisme. ET adalah sebuah ‘eksperimen’ ekonomi mandiri ala Indonesia yang diformulasikan oleh Soekarno sebagai strategi pembangunan untuk membangun ekonomi nasional yang mandiri, sesuai dengan Tri Panji nasional yang ia canangkan; berdikari dalam ekonomi; Berdaulat dalam Politik; Berkepribadian dalam budaya. .
- Program nasionalisasi ini tidak cukup mengakomodir hak-hak rakyat yang sudah menggarap tanah-tanah eks perkebunan Belanda dalam proses peralihan hak-hak yang terjadi di atas tanah itu terbukti dengan tidak dilanjutkannya prosedur pengakuan hak pendudukan mereka dengan membagikan tanah-tanah itu lewat skema land reform. Mereka sendiri sebagai penggarap tidak terlalu dipusingkan dengan soal kepastian pemberian hak di atas tanah-tanah perkebunan itu. Secara khusus, bagi petani penggarap, pengakuan yang diberikan oleh UU No.8 Darurat Tahun 1954 tentang penyelesaian soal pemakaian tanah perkebunan oleh rakyat sesungguhnya sudah merupakan kepastian hukum. Apalagi kepastian itu jadi lebih kuat dengan adanya prinsip land reform di dalam UUPA 1960. Sejumlah peraturan yang sudah memberikan pengakuan secara umum serta lahirnya UUPA 1960 yang mengutamakan tanah dan pertanian untuk rakyat sudah lebih dari cukup. Apalagi kehadiran mereka sebagai penggarap banyak yang tidak terganggu ketika hak usaha perkebunan asing yang mereka duduki itu beralih ke Perusahaan Perkebunan Negara;
Masa Orde Baru
- Dengan membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai masuk ke Indonesia, khususnya PMA dan hutang luar negeri mulai meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Model internasional menjadi elemen utama bagi perkembangan kelas kapitalis yang mendorong penuh kebijakan investasi asing di wilayah minyak, gas dan industri lainnya yang menjadi pendukung utama keuangan Negara. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya sejumlah perundang-undangan yang muncul kemudian untuk menjustifikasi sejumlah investasi yang masuk. Pertambangan emas di Papua yang dijalankan oleh PT Freeport kemudian diteguhkan dengan terbit UU Pertambangan (UU No.11 tahun 1967) juga sejumlah kegiatan eksploitasi kehutanan diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan;
- Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah, kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah “dipaksakan” kepada negara kita. Isu-isu ekonomi politik banyak dibawa ke arah liberalisasi ekonomi, baik libelarisasi sektor keuangan, sektor industri maupun sektor perdagangan. Sektor swasta diharapkan berperan lebih besar karena pemerintah dianggap telah gagal dalam mengalokasikan sumberdaya ekonomi untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, baik yang berasal dari eksploitasi sumberdaya alam maupun hutang luar negeri. Dan tentu saja, liberalisasi ekonomi dengan dasar penguasaan atas individu dan berorientasi pada pasar pada akhirnya membawa akibat dominasi pemilik modal dalam setiap sektor kehidupan;
- Negara juga memiliki peranan penting dalam pembangunan kelas borjuis dengan memberikan kondisi politik yang memungkinakn mereka untuk mengeruk keuntungan. Hal tersebut termasuk upah murah dan kemudahan infrastruktur lainnya;
- Di awal 1990-an, pemerintahan Orde Baru sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 miliar pada tahun 1990. Pada tahun 1997, hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Tekanan beban hutang ini mendorong pemerintah untuk melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah. Beban hutang yang sangat besar ini yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997.
- Di akhir kekuasaanya, Presiden Soeharto menandatangani kesepakatan dengan IMF untuk untuk mendapatkan pinjaman guna menanggulasi krisis ekonomi di Indonesia. Dalam kesepakatan tersebut, IMF mengajukan beberapa syarat dalam LoI (Letter of Intent), diantaranya pengetatan belanja fiskal dan mengurangi subsidi serta menghapus sistem kuota impor.
Masa Pasca-Orde Baru
- Dampak dari kesepakatan antara Indonesia dan IMF menyebabkan perubahan drastis dalam kebijakan ekonomi nasional Indonesia, yang pada akhirnya bergeser ke arah ekonomi liberal. Ini terjadi karena campur tangan IMF dalam melakukan penyesuaian struktur domestik Indonesia yang disesuaikan dengan ekonomi liberalisme secara global.
- Kebijakan privatisasi BUMN juga mulai dijalankan kembali dalam pemerintahan di masa reformasi. Beberapa BUMN yang diprivatisasi antara lain PT. Telkom, PT. Perusahaan Gas Negara, PT. Bank Mandiri, PT. Bank BNI 46, PT. Indosat, PT. Aneka Tambang serta PT. Semen Gresik. Privatisasi beberapa BUMN tersebut jelas melanggar konstitusi, khususnya pasal 33 UUD 1945. Akibat dari privatisasi tersebut, produk yang dihasilkan melalui BUMN tersebut menjadi sangat mahal karena berorientasi profit atau mengejar keuntungan demi kepentingan para pemilik modal.
- Di awal pasca Orde Baru, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sebuah badan restrukturisasi perbankan, untuk melakukan penyitaan aset-aset dari debitor dan menjualnya. Penyintaan aset ini menjadi ancaman bagi kelangsungan bisnis kekuatan konglomerat jaman Orde Baru. Namun proses tersebut tidak berjalan mulus karena muncul resistensi dari kekuataan bisnis atas penyitaan aset mereka. Selain itu, banyak perusahaan yang tidak transparan atas asetnya sehingga penyitaan aset sebagai jaminan utang tidak sesuai harapan. Situasi yang tidak menentu atas kondisi bisnis di Indonesia kemudian menemukan momentumnya bagi para konglomerat untuk kembali berkuasa melalui penjualan aset mereka sebelumnya. Ini dilatarbelakangi oleh kesulitan BPPN untuk menjual aset para konglomerat karena keengganan investor luar negeri untuk membeli aset-aset tersebut. Tekanan itu kemudian meningkat saat pemerintah menghadapi bunga obligasi yang meningkat menjadi Tp 77 triliun pada 2001.
- Di sisi lain, pemerintah menghadapi kenyataan bahwa untuk menarik investasi mengalir ke Indonesia, dan sektor perbankan dan dunia usaha kembali normal, maka konglomerat adalah kuncinya. Masuknya para konglomerat diyakini akan menarik para investor asing. Maka itu, pemerintah dipaksa secara struktural untuk mencabut tuntutannya, untuk berkompromi dengan merestrukturisasi utang dan mengizinkan para konglomerat untuk kembali membeli aset-asetnya. Situasi ini yang kemudian menjadi pintu masuk reorganisasi kekuatan ekonomi konglomerat Orde Baru untuk berkuasa kembali hingga sekarang.
- Kekuatan ekonomi yang diwariskan oleh Orde Baru kemudian juga mulai menguasasi demokratisasi dengan terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi petingginya. Hal ini dilakukan karena patron mereka untuk mempertahankan kekayaannya mulai menghilang. Oleh karena itu, mereka kemudian harus menjadi aktor politik sebagai strategi mengamankan tatanan oligarki mereka. Hal ini juga sejalan dengan kebutuhan partai politik yang membutuhkan biaya yang sangat besar untuk memenangkan kontestasi pemilu.
- Kebijakan desentralisasi yang mulai digalakkan pada saat pemeirntahan pasca Orde Baru, kekuatan ekonomi ini kemudian berubah lokus patron kliennya. Hal ini dimanfaatkan oleh kekuatan ekonomi warisan Orde Baru untuk mengalihkan sebagian kekuasaanya ke daerah.
- Di masa pemerintahan SBY kemudian juga mulai diterapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (MP3EI). Dalam argumentasinya, MP3EI dikatakan akan menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen hingga 41 persen serta meningkatkan kesejahteraan. Tetapi kenyataannya, MP3EI masih mengandalkan sektor-sektor yang rakus lahan, infrastruktur pengangkutan, sumber energi dan buruh murah. Itu sebabnya hampir 80 persen investasi MP3ERI untuk pengadaan fasilitas pengangkutan dan energi. Melalui intensifikasi dan ekstensifikasi privatisasi dan finansialisasi sektor-sektor publik, MP3EI bukanlah sebuah rancangan baru. Justru ini merupakan rancangan reka-ulang dan dekorasi ulang resep pembangunanisme ala Orde Baru. Resep dari MP3EI ini melibatkan pemangkasan hambaran regulasi, pemberian insentif hingga percepatan pembangunan infrastruktur guna mendukung pelaku ekonomi.
- Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) tahun 2015-2019, yang dirumuskan oleh pemerintahan Jokowi-JK, sepertinya hanya merupakan kelanjutan dari program MP3EI yang dirumuskan oleh pemerintahan SBY. Jargon pembangunan MP3EI, seperti “konduktivitas”, “koridor ekonomi”, serta “pembangunan infrastruktur” masih dominan dalam argumen-argumen strategi pembangunan dalam RPJMN 2015-2019. Untuk membiayai program pembangunan yang tertera dalam RPJMN tersebut, pemerintahan Jokowi kembali mengandalkan utang luar negeri. Hingga Januari 2015, total realisasi utang yang masuk mencapai US$ 4,666 miliar atau sekitar Rp 584 triliun.
- Di tahun 2015, ASEAN juga mulai menerapkan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pemerintah telah menetapkan strategi industrialisasi pangan, khususnya untuk menghadapi liberalisasi pangan dalam MEA 2015, yakni melalui pembentukan Food Estate dalam MP3EI dan peningkatan hilirisasi industri dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah. Hal ini meningkatkan peran korporasi dalam sektor pangan nasional yang berdampak terhadap peminggiran keberadaan petani dan nelayan Indonesia. Pembangunan Food Estate telah meningkatkan nilai investasi di Koridor Ekonomi (KE) Merauke dan Kalimantan, masing-masing mencapai Rp 27,8 Triliun di KE Merauke dan Rp 55 Triliun di KE Kalimantan pada tahun 2013. Pertumbuhan korporasi pangan, yang mencapai 3,7% (155 perusahaan) ini pada tahun 2013, harus dibayar dengan hilangnya jumlah petani (tanaman pangan) sebesar 979.980 orang dan nelayan (perikanan tangkap) sebesar 704.542 orang.
Situasi dan Tantangan Kekinian
Situasi kekinian Indonesia semakin terperosok dibawah kekuasaan pasar dan tentunya dibawah kontrol kekuasaan para pemilik modal. Dari hari ke hari negara dikondisikan, ditekan dan dituntut untuk melepaskan berbagai penguasan sumber daya ekonomi pada sektor privat atas nama kebutuhan pemenuhan biaya pembangunan. Deregulasi atau pengurangan kontrol negara terus dilakukan melalui berbagai amandemen, pembuatan undang-undang baru bahkan sampai pada penciptaan rezim boneka kapitalis. Targetnya adalah agar mekanisme pasar bekerja secara optimal. Para pemilik modal semakin leluasa untuk melanggengkan monopli penguasaan aset dan mengakumlasi keuntungan. Tentunya dengan cara menghisap para kaum pekerja dan menyingkirkan rakyat dari sumber-sumber penghidupannya.
Dalam Indonesia yang semakin kapitalistik, tidak mengherankan jika kita dihadapkan pada kenyataan bahwa jumlah akumlasi kekayaan 40 orang Indonesia yang dilansir harian Kompas (28/11/2011) mencapai angka US$ 85,1 miliar lebih atau setara dengan dari 766 trliyun rupiah (memakai kurs dollar setara 9.000 rupiah). Jumlah ini lebih dari setengah jumlah APBN tahun 2011 sebesar Rp 1.202 triliun. Angka ini juga setara dengan tiga kali lipat jumlah belanja untuk subsidi pendidikan pada tahun 2011 yang berjumlah Rp 248,978 triliun dan lebih dari 20 kali lipat jumlah total berbagai subsidi seperti: subsidi pangan (Rp 15,267 triliun), subsidi pupuk (Rp 16,277 triliun), subsidi benih (Rp 120 miliar) subsidi bunga kredit (Rp 2,618 triliun) atau 10% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada tahun yang sama. Sementara di tahun 2015, Bank Dunia mencatat 10% orang terkaya di Indonesia diperkirakan memiliki 77% kekayaan di Indonesia. Perbandingan tersebut juga bisa dibilang bahwa 1% orang terkaya di tanah air, memiliki separuh dari seluruh kekayaan di Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur. Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif stabil selama 15 tahun terakhir, namun kondisi tersebut hanya menguntungkan 10-20 persen orang kaya di Indonesia. Konsumsi per orang kelompok 10 persen orang kaya Indonesia meningkat 6 persen per tahun selama kurun 2003-2010. Sedangkan konsumsi kelompok 40 persen orang miskin cuma tumbuh kurang 2 persen per tahun. Alhasil, jumlah orang miskin sejak tahun 2002 hingga tahun lalu cuma berkurang 2 persen. Kelompok miskin ini yang belanja bulanannya di bawah Rp 300 ribu per orang.
Ketimpangan ini salah satunya disebabkan oleh pendapatan orang-orang super kaya yang berpenghasilan Rp 5-10 miliar per tahun. Jumlah kelompok ini di Indonesia terus meningkat. Meski pendapatannya sangat tinggi, namun kontribusi total pajak dari kelompok super kaya hanya sekitar 2 persen terhadap penerimaan negara melalui pajak penghasilan. Perilaku ini berkebalikan dengan kelompok pekerja yang sumbangannya mencapai 15 persen terhadap penerimaan negara. Hal ini bisa dilihat dari potensi 60 juta pembayar pajak, saat ini baru 27,57 persen yang terdaftar alias memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP). Dari jumlah tersebut, hanya 11 juta orang yang memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, sumbangan pajak penghasilan dari total penerimaan negara hanya 12 persen dari 16-18 persen. Artinya negara ini ditopang pajak kelompok pekerja.
Belum lagi jika kita melihat penguasaan aset lahan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Hal ini jelas sangat berkontribusi terhadap ketimpangan yang tinggi di Indonesia. Di akhir tahun 2015, Bank Dunia menyebutkan sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai 0,2 persen penduduk. Sementara di sisi lain, penguasaan asing terhadap sumber daya alam Indonesia mencapai 80%. Sistem pasar mengkondisikan modal dapat keluar masuk seenaknya. Modal membangun kompetisi brutal dimana yang kuat semakin berkuasa dan yang lemah ditinggalkan dalam penderitaan!
Siapa mereka yang tergusur dan tertinggal dalam penderitaan tersebut? Mereka adalah puluhan juta penduduk Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan. Kemiskinan masih merupakan persoalan besar bagi bangsa Indonesia. Secara nasional, jumlah penduduk miskin mencapai 28,01 juta orang (10,86%) pada Maret 2016. (Berita Resmi Statistik No. 66/07/Th. XIX, 18 Juli 2016). Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2015 yang sebesar 28,59 juta orang (111,22%), maka mengalami penurunan sebanyak 0,58 juta orang. Namun dari jumlah tersebut, proporsi penduduk miskin yang terbesar masih di daerah perdesaan yang mencapai 17,67 juta orang (14,11%) pada Maret 2016, jika dibandingkan penduduk miskin di daerah perkotaan sebanyak 10,34 juta orang (7,79%). Komposisi tersebut dapat dilihat pada tabel 1.

Tidak selesainya permasalahan kemiskinan di Indonesia ini disebabkan salah satunya karena strategi pembangunan yang tidak mampu mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang selalu digenjot pemerintah pada kenyataannya tidak berkualitas di tengah ketimpangan distribusi pendapatan rakyat yang kian melebar. Walaupun pertumbuhan ekonomi dianggap tertinggi di dunia namun malah membuat ketimpangan distribusi pendapatan rakyat menurut Koefisien Gini, di mana jurang (gap) antara orang kaya dan orang miskin semakin lebar. Bahkan di tahun 2014, koefisien gini Indonesia mencapai 0,41, yang merupakan angka tertinggi dalam sejarah sejak Indonesia merdeka. Angka tersebut sudah dianggap sebagai zona kuning yang berarti cukup mengkhawatirkan (lihat tabel 2).

Data Gini Ratio di atas menunjukkan ketimpangan di Indonesia pada tahun 2010 tercatat sebesar 0,38 dan meningkat terus hingga tahun 2015 yang mencapai 0,40. Sementara jika dilihat berdasarkan daerah tempat tinggal, Gini Ratio di daerah perkotaan hingga tahun 2015 masih lebih tinggi yang sebesar 0,42 daripada di daerah perdesaan yang sebesar 0,33. Artinya tingkat ketimpangan di daerah perkotaan masih lebih tinggi dibandingkan di daerah perdesaan.
Namun persoalan kemiskinan bukan hanya sekedar berapa jumlah dan persentase penduduk miskin saja. Dimensi lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan. Selain harus mampu memperkecil jumlah penduduk miskin, kebijakan kemiskinan juga sekaligus harus bisa mengurangi tingkat kedalaman dan keparahan dari kemiskinan.
Pada periode Maret 2015-September 2015, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan mengalami penurunan. Indeks Kedalaman Kemiskinan pada Maret 2015 adalah 1,97 dan pada September 2015 mengalami penurunan menjadi 1,84, demikian juga dengan Indeks Keparahan Kemiskinan mengalami penurunan dari 0,54 menjadi 0,51 pada periode yang sama (Tabel 3). Sementara apabila dilihat pada periode sebelumnya yaitu September 2014-September 2015 Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan cenderung mengalami kenaikan.

Apabila dibandingkan antara daerah perkotaan dan perdesaan, nilai indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di daerah perdesaan lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Pada Septemerb 2015, nilai Indeks Kedalaman Kemiskinan untuk daerah perkotaan sebesar 1,29 sementara di daerah perdesaan jauh lebih tinggi, yaitu mencapai 2,40. Sementara itu nilai Indeks Keparahan Kemiskinan untuk perkotaan adalah 0,35 sedangkan di daerah perdesaan mencapai sebesar 0,67. Lebarnya kesenjangan pendapatan juga terjadi antara petani dan non-petani. Dengan tenaga kerja sebanyak 42,47 persen dari total tenaga kerja, Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian-yang merupakan proksi dari pendapatan petani-hanya 14,72 persen dari PDB total. Pada tahun yang sama (2011), sektor industri pengolahan dengan tenaga kerja 13,71 persen dari total tenaga kerja memiliki PDB sejumlah 24,28 persen dari PDB total. Pada sektor tersebut percepatan kemiskinan mencapai 56,07 persen, jauh melebihi yang terjadi di sektor industri yakni 6,77 persen.


Menelisik lebih spesifik pada sektor-sektor pekerjaan, jumlah individu yang bekerja di sektor pertanian yang status kesejahteraannya tergolong 30% terendah adalah sebesar 19.482.909 orang. Jika dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian pada akhir 2011 yang berjumlah 39.328.915 (Sakernas 2011), maka jumlah ini menunjukan bahwa sebesar 49,54% mereka yang bekerja di setor pertanian berada pada kondisi kesejahteraan rendah. Atau berada dalam area kategori sangat miskin, miskin dan rentan miskin. Jika ditinjau lebih detil, mayoritas pekerja di sektor pertanian yang miskin merupakan petani padi dan palawija yang jumlahnya mencapai 12.325.365 juta jiwa. Begitu juga yang bekerja di perkebunan yang jumlahnya mencapai lebih dari 4 juta orang berada pada status tidak sejahtera. Sementara itu dari sisi kewilayahan, propinsi Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara merupakan kantong-kantong tenaga kerja di sektor pertanian yang berada dalam kategori tidak sejahtera.
Data BPS menunjukkan, jumlah petani gurem di Indonesia terus meningkat, dari 10,80 juta orang pada tahun 1993 menjadi 13,66 juta orang pada tahun 2003 dan 15,60 juta orang pada tahun 2008. Bahkan Indonesia merupakan negara agraris dengan penguasaan lahan tersempit di dunia, dengan land-man ratio 362 m2 /kapita pada tahun 2003 dan 354 m/kapita pada tahun 2008 (Adnyana 2005; SPI 2010). Jumlah petani gurem yang makin banyak mencerminkan makin banyaknya petani yang terperangkap dalam kemiskinan. Selain petani gurem, kelompok miskin pedesaan adalah buruh tani. Sampai tahun 2010 saja, terdapat 13,4 juta rumah tangga petani (36% dari total rumah tangga petani) yang berada pada status buruh tani karena tidak memiliki tanah.
Tingkat kesejahteraan petani gurem (tidak punya lahan) dan petani dengan pemilikan lahan < 0,3 hektar stagnan. Pendapatan mereka rata-rata masih sangat rendah dan cenderung stagnan. Tingkat pendapat di pedesaan hanya berkisar antara 0,3 – 0,8 dari tingkat pendapatan di perkotaan. Upah buruh petani nyaris tidak bergerak signifikaan diantara 37 ribu rupiah per hari menjadi 40 ribu rupiah per hari pada periode 2008-2012 seperti yang terlihat pada tabel dibawah ini. Hingga tahun 2016, upah buruh petani hanya mencapai 46 ribu rupiah.

Pada sektor kelautan dan wilayah pesisir, masyarakat nelayan adalah mereka yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya.
Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatan. Kehidupan nelayan sampai saat ini belum dapat dikatakan layak bahkan jauh dari kata sejahtera. Jumlah nelayan miskin di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 7,87 juta orang atau 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02 juta orang. Jumlah 7,87 juta orang tersebut berasal dari sekitar 10.600 desa nelayan miskin yang terdapat di kawasan pesisir di berbagai daerah di tanah air.
Kondisi ini cukup ironi jika dibandingkan dengan keterangan yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, dalam pernyataannya kepada berbagai media nasional, jika digali secara optimal potensi ekonomi kelautan Indonesia bisa mencapai 1,2 triliun dolar AS atau sekitar Rp 11.400 triliun. Berdasarkan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor (IPB) potensi perikanan mencapai 31,935 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan potensi bioteknologi mencapai 40 miliar dolar AS per tahun. Sementara Asian Development Bank (ADB) menyatakan bahwa potensi ekonomi di wilayah pesisir Indonesia mencapai 56 miliar dolar AS per tahun.
Selain itu, 80 persen industri dan 65 persen kota/ kabupaten berada di wilayah pesisir (Kemendagri 2010). Produksi perikanan laut sekitar 6,4 juta ton per tahun, perairan umum sekitar 4,94 ton per tahun, lahan budidaya tambak 1,2 juta hektare, budidaya Laut sebanyak 8,4 juta hektare, dan budidaya Air Tawar 2,2 juta hektare. Sedangkan cadangan Minyak Bumi sekitar 9,1 persen miliar Barel di Laut dan dari 60 Cekungan Migas Indonesia, 70 persen berada di Laut.
Pada Februari 2016, sektor ketenagakerjaan secara lebih luas, jika di lihat dari tingkat pendidikan penduduk yang bekerja terlihat bahwa komposisinya masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah (52,43 juta orang), disusul oleh lulusan SMP (21,48 juta orang), dan pekerja yang berpendidikan tinggi (SMU atau SMK) hanya 33,05 juta orang. Sedangkan mereka yang berpendidikan tinggi hanya sebesar 14,63 juta orang. Dari data tersebut menunjukkan bahwa sektor ketenagakerjaan di Indonesia masih didominasi tenaga kerja unskill. Rendahnya pendidikan pekerja di Indonesia akan menimbulkan implikasi terhadap rendahnya kualitas tenaga kerja. Pendidikan yang dimiliki oleh tenaga kerja akan mendorong kemampuan pekerja terhadap penguasaan aspek pekerjaan di lapangan. Pekerja yang terdidik dan memiliki skill akan cenderung memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tenaga kerja tidak berpendidikan dan unskill.

Sementara terkait angka pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2016 mencapai 7,02 juta orang. Berdasarkan tingkat pendidikan yang menganggur secara terbuka didominasi oleh lulusan
SMA dan SMK yang mencapai 2,90 juta parang, yang disusul oleh pengangguran terbuka lulus SD ke bawah yang mencapai 1,87 juta orang. Sementara pengangguran terbuka lulusan SMP mencapai 1,31 juta orang dan pengangguran terbuka yang berpendidikan tinggi mencapai 945 ribu orang.
Pada Februari 2016, ada sekitar 120,65 juta orang yang menjadi tenaga kerja di Indonesia. Namun dari jumlah tenaga kerja itu, hanya sekitar 50,33 juta orang yang menjadi tenaga kerja formal. Sementara sisanya didominasi oleh tenaga kerja informal yang mencapai 70,32 juta orang.

Dominasi tenaga kerja informal dalam dunia ketenagakerjaan di Indonesia menunjukkan bahwa jumlah pekerja kontrak dan outsourcing memang masih sangat tinggi. Kesempatan kerja yang selama ini didengung-dengungkan akibat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pada kenyataannya tidak mampu menjamin kepastian dan keberlanjutan kerja di Indonesia.
Penelitian Akatiga pada tahun 2010 (Rina Herawati 2010 : 10), yang melakukan survey terhadap 600 buruh sektor metal di 7 kabupaten/kota di 3 provinsi, turut menguatkan kondisi di atas dimana 82,8% responden berusia kurang dari 35 tahun. Artinya peluang kerja semakin terbatas bagi calon pekerja berusia di atas 35 tahun. Selain itu, penelitian Akatiga tersebut juga menunjukkan, bahwa 50,3% responden memiliki masa kerja tidak lebih dari 3 tahun, yang terdiri dari 27,7% bermasa kerja 1-12 bulan dan 23,2% bermasa kerja 1-3 tahun. Artinya masa kerja seseorang pada sektor formal di Indonesia pun makin terbatas sehingga memperbesar kelompok rentan dan hampir miskin. Keterbatasan masa kerja pada sektor formal memperlihatkan kecenderungan menguatnya tesis deindustrialisasi yang dikemukakan oleh ILO (ILO 2010).
Jika kita telisik perbandingan antara daerah perkotaan dan perdesaan berdasrakan gender, maka dapat terlihat kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja pada laki-laki lebih besar kesempatannya dibandingkan perempuan. Pada tahun 2014, laki-laki yang bekerja sebanyak 78,27 persen, sementara perempuan yang bekerja hanya mencapai 47,08 persen. Sedangkan rasio kesempatan kerja di perdesaan mencapai 65,49 persen dan di perkotaan hanya 59,88 persen. (lihat tabel 9).

Data di atas juga menunjukkan bahwa jumlah perempuan masih sangat rendah untuk berpartisipasi di dalam sektor ekonomi formal maupun informal. Hal tersebut juga berdampak hingga penerimaan upah antara laki-laki dan perempuan. Di tahun 2014, tingkat pekerja perempuan yang menerima upah rendah mencapai 32,35 persen, sementara pekerja laki-laki yang menerima upah rendah sebesar 30,39 persen. (lihat tabel 10)

Dari tabel di atas juga menunjukkan bahwa pekerja berupah rendah juga didominasi di daerah perdesaan. Hal ini tentunya berdampak kepada tingginya arus migrasi dari desa ke kota karena menginginkan penghidupan yang lebih layak. Selain itu, data di atas juga sangat terkait dengan angka kemiskinan di perdesaan yang lebih tinggi dari pada di perkotaan, seperti yang ditunjukkan dalam tabel 1.
Selain itu, tabel 9 dan tabel 10 juga menunjukkan laki-laki umumnya masih menjadi pencari nafkah utama keluarga. Namun fakta tersebut mengaburkan fakta lainnya, yaitu perempuan, baik di perkotaan maupun di perdesaan juga turut menanggung pencarian nafkah keluarga, sehingga mengalami beban kerja ganda di wilayah produksi maupun domestik (double burden).
Arah dan Agenda Perjuangan
Menghadapi itu semua, tentu tidak bisa mengandalkan para pemimpin dalam rezim yang kapitalistik dan liberal ini. Para pimpinan yang bibirnya senantiasa basah oleh kata-kata demokrasi tetapi luput dari kesungguhan hati dan pikiran untuk benar-benar memajukan kesejahteraan umum. Penyusunan kebijakan bukan lagi semata-mata demi kesejahteraan umum. Melainkan kalkulasi untung rugi bagi kepentingan kelompok elit berkuasa dan kepentingan para pemilik modal. Transaksi pasar kini bekerja dalam ranah politik. Pembayar tertinggi lah yang berhak mendapatkan jasa pelayanan terbaik. Pemilu pun sebagai media bagi penyaluran kedaulatan rakyat telah mewujud menjadi mesin penghasil orang-orang yang tidak berkarakter. Proses desentralsiasi administrasi dan politik yang hakikatnya untuk mendekatkan pelayanan umum pada rakyat, kini menciptakan pimpinan-pimpinan daerah yang korup, ekspolitasi sumberdaya alam secara besar -besar atas nama memacu pendapatan daerah dengan mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan keberlanjutan layanan alam untuk generasi saat ini dan generasi-generasi selanjutnya.
Tentu saja ini bukan barang baru. Ini semua bukan penderitaan baru. Puluhan bahkan ratusan tahun sudah dirasakan bangsa ini, sejak feodalisme, kolonialisme, imperalisme, dan kapitalisme berurat-akar di tanah ini. Dan bagi kaum Pergarakan hadir bukan untuk mewarisi penderitaan-penderitaaan itu. Kaum Pergerakan hadir untuk mewarisi perlawanan atas penderitaan itu.
Lalu apa yang harus dilakukan? Menjawab pertanyaan ini, yang mula-mula adalah pemantapan cita-cita bersama. Pemantapan apa yang menjadi mimpi bersama. Pengokohan keyakinan yang mengikatkan dan memandu kehendak antar orang per orang kaum Pergerakan. Cita -cita perjuangan kaum Pergerakan adalah mewujudkan suatu kehidupan masyarakat yang setiap orang per orangnya dengan sepenuh hati dan kekuatannya mampu bekerja mencari nafkah dan produktif bagi pencapaian kebahagiaannya secara lahir batin tanpa merampas hasil kerja sesamanya. Sehingga kekayaan dan hasil produksi harus dikembalikan ke kepemilikan bersama untuk kesejahteraan bersama, untuk kepentingan umum dan memajukan kesetaraan manusia. Dengan kata lain, ekonomi-politik yang hendak diperjuangkan KPRI adalah tatanan yang dibangun dalam kultur dan etos ekonomi-politik baru yang mengatur corak, watak, dan perilaku ekonomi-politik yang mengubah watak individualistis dan bercorak kapitalistik menjadi watak kolektif dan bercorak sosialistik.
Dalam tatanan seperti itu, kebebasan yang dimiliki oleh setiap kita dalam menggerakkan potensi dirinya untuk mempertinggi derajat kemanusiaan tidak ditujukan hanya untuk pencapaian kepuasan individualnya semata. Karena pada saat yang sama ia harus memenuhi kepuasan orang-orang lain dalam kolektifnya. Demikian selanjutnya pada kolektif yang lebih besar, derajat kemanusiaan tertinggi tidak mungkin dicapai oleh satu kolektif kecil dengan mengabaikan kolektif-kolektif lainnya. Demikian jugalah KPRI meyakini dan memperlakukan kebebasan yang dimilikinya, sebagai alas prinsip yang membedakan jalan kaumnya dari yang lain, sebagai panduan untuk menghadapi ajaran dan sistem yang dilawannya.
Inilah yang dimaksud sebagai kemandirian ekonomi. Inilah jalan yang harus ditempuh untuk melawan kapitalisme ekonomi. Tak ada pilihan lain, dalam tiga tahun ke depan kita harus membangun ekonomi mandiri sebagai ukuran dari watak kolektif dan corak sosialistik! Cita-cita tersebut dapat diwujudkan melalui jalan pembangunan kemampuan rakyat secara terus menerus hingga memiliki kedaulatan sejati dalam mengendalikan jalannya roda perpolitikan dan perekonomian negara ini. Dengan kata lain, memperjuangkan cita-cita tersebut ditempuh melalui palagan perlawanan dan pertempuran politik demokratik yang bertumpu pada persatuan rakyat sadar dan teorganisir untuk merebut kekuasaan negara dari kontrol kepentingan para pemilik modal.
Lanjut ke –> MANIFESTO EKONOMI KPRI (Bagian II: IDEOLOGI POLITIK SISTEM EKONOMI)