JAKARTA – Masyarakat perantau Pasaman Barat di Jakarta meminta mantan Bupati Pasaman, Taufik Martha harus bertanggung jawab terhadap seluruh kekisruhan yang bersumber dari tata kelola perkebunan sawit yang terjadi di Kabupaten Pasaman Barat dan Pasaman, Sumatera Barat.
Hal tersebut mengemuka dalam Seminar dan Focus Discussion Pengelolaan Sawit di Pasaman Barat dengan tema “Kajian Komprehensif: Elaborasi Terhadap Pengelolaan dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Pasaman Barat, yang diselenggarakan Ikatan Keluarga Pasaman Barat di Jakarta, Depok dan Bekasi (Jabodetabek), bertempat di gedung DPP Muhammdiyah, Jakarta, Minggu (30/10).
“Mantan Bupati Taufik Martha harus kita mintakan pertanggungjawabannya karena era dia jadi bupati lahan pertanian rakyat dengan status tanah ulayat berpindah kepada konglomerat dan berubah menjadi kebun sawit lengkap dengan Hak Guna Usaha (HGU),” kata mantan anggota DPRD Pasaman Namlis, dalam seminar yang digelar dari pagi hingga sore.
Selain meminta pertanggungjawaban Taufik Martha, mantan Ketua Pansus Lahan Sawit DPRD Pasaman itu juga mendesak para bupati sesudah Taufik Martha untuk ikut bertanggung jawab karena ribuan masyarakat nagari di Pasaman masih ada yang belum menerima hak-hak sebagai peserta plasma.
Lebih lanjut, Namlis mengungkap fenomena seluruh HGU yang terdapat di Pasaman. Menurut dia, seluruh HGU yang berhubungan dengan lahan sawit di Kabupaten Pasaman sudah diperpanjang hingga tahun 2045.
“Sebelum bupati sekarang memenangkan Pilkada, sudah terjadi perpanjangan HGU hingga tahun 2045 mendatang dan perpanjangan HGU tersebut tanpa diketahui oleh masyarakat peserta plasma lahan sawit,” ungkap Namlis.
Menurut dia, semua permasalahan yang muncul antara perusahaan perkebunan sawit dengan masyarakat peserta plasma tidak akan pernah bisa dimenangkan oleh masyarakat, termasuk masalah terkini soal perpanjangan HGU karena aparat penegak hukum di Pasaman berpihak secara penuh kepada pengusaha.
“Demikian juga halnya kalau masyarakat melakukan demo, pengusaha pasti membiayai Brigadir Mobil (Brimob) dari kepolisian untuk menghadapi aksi demo. Kenapa kepolisian bisa bertindak cepat, itu karena dibiayai oleh pengusaha,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR Nudirman Munir menjelaskan bahwa kesewenang-wenangan aparat kepolisian dalam menangkap rakyat di Pasaman ataupun di daerah lainnya karena dua hal. Pertama memang karena keberpihakan kepada yang punya uang dalam hal ini pengusaha dan kedua memang karena Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang mendorong mereka untuk selalu berhadap-hadapan dengan rakyatnya sendiri.
“KUHP itu adalah produk penjajah yang dari awal susun untuk mengadu-domba penguasa dengan rakyatnya sendiri. Dengan demikian polisi atau jaksa kapan pun bisa menangkap rakyat. Bersalah atau tidak rakyatnya nanti diputus melalui pengadilan. Yang penting tangkap dulu,” tegas politisi Partai Golkar itu.
Fenomena ini lanjutnya, terjadi menyeluruh di Indonesia sehingga rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan menjadi penuh sesak dan jauh dari standar kelayakan untuk membina orang.
Khusus terhadap Kabupaten Pasaman, Nudirman mengatakan bahwa proses menzalami anak nagari sesungguhnya sudah terjadi sangat lama dimulai ketika anak nagari apakah karena terpaksa, dipujuk atau ikhlas menyerahkan tanah ulayat kepada Bupati Pasaman.
“Begitu rakyat menyerahkan tanah ulayatnya kepada bupati, saat itu muncul syahwat Syetannya untukmengibuli rakyatnya sendiri. Ini memang cara pemiskinan masyarakat secara sistematis dan massif. Ini cara kotor dan tidak manusiawi,” ujar anggota DPR dari dapil II Sumbar itu.
Sementara Ketua Umum Ikatan Keluarga Pasaman Barat, Prof Syafril Kemala mengungkap kerisauannya tentang munculnya “Datuk Bodong” di Pasaman yang jumlahnya sudah tidak terhitung lagi.
“Datuk Bodong ini punya akses yang luar biasa terhadap pemerintah sehingga dia bisa menyerahkan tanah ulayat kepada pengusaha sawit melalui persetujuan bupati. Datuk Bodong dan bupati sama saja perangainya,” ujar Syafril Kemala.
Peserta seminar lainnya, DR Adnan Nursal mengatakan apa yang terjadi di Pasaman adalah fenomena nasional, dimana masyarakatnya dengan berbagai cara dipaksa untuk menyerahkan hak tanah ulayatnya kepada investor.
“Mestinya ini dilawan dengan people power melalui gerakan sosial yang bermuatan politis. Jadi people power itu jangan hanya untuk RI-1. Para bupati dan pengusaha yang tidak berperikemanusiaan juga harus dilawan dengan people power,” tegasnya.
Terakhir dia mengatakan bahwa salah satu ciri khas Indonesia adalah dimana ada kabupaten yang kaya akan sumberdaya alam maka disitulah terdapat kantong-kantong kemiskinan yang sangat signifikan sehingga kabupaten itu sendiri masuk lima besar daerah miskin di sebuah provinsi.
“Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Sumatera pasti begitu kondisinya. Di setiap kabupaten kaya akan sumberdaya alam maka disitulah terdapat kantong-kantong kemiskinan yang sangat signifikan jumlah. Termasuk Kabupaten Pasaman,” tegasnya. (fas/jpnn)
Sumber :
http://www.jpnn.com/read/2011/10/30/106958/Mantan-Bupati-Harus-Bertanggung-Jawab-Soal-Lahan-Sawit