Siaran Pers
“Tanah Untuk Keadilan dan Kemakmuran Rakyat
Bukan Komoditas bagi Konglomerat”
Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai yang kita cita-citakan. Inilah yang menjadi landasan filosofis peringatan hari tani nasional setiap tahun.
Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September bertepatan dengan kelahiran Undang-Undang No. 5 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria pada tahun 1960. Undang-undang ini kemudian lebih dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Ditetapkan kelahiran UUPA sebagai hari tani dengan dasar pemikiran bahwa UUPA mengubah secara fundamental prinsip-prinsip hukum pertanahan yang berlaku sebelum tahun 1960. UUPA menjadi tonggak revolusioner hukum agraria yang mengubah gaya lama penguasaan tanah bercorak kolonial dengan program redistribusi tanah kepada rakyat dan melarang monopoli penguasaan tanah termasuk feodalisme di pedesaan. Atas dasar ketentuan UUPA diamanatkan dilakukannya upaya-upaya untuk dilakukannya penataan penguasaan tanah dan meningkatkan pendapatan rakyat khususnya para petani kecil secara adil dan merata. Sehingga terbuka kesempatan untuk mengembangkan diri mencapai kemakmuran sebagai bagian dari pembangunan nasional untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.
Menginjak tahun ke-56 dari diberlakukannya UUPA ini, kenyataan yang dialami oleh mayoritas kaum tani Indonesia masih jauh dari harapan. Hal ini disebabkan oleh tidak diimplementasikannya UUPA. Bahkan banyak perundang-undangan yang kini berlaku sesungguhnya bertentangan dengan UUPA. Dampaknya melahirkan ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah di Indonesia sebagaimana halnya ketimpangan ekonomi/tingkat pendapatan penduduknya yang semakin tajam. Di satu sisi banyak orang kaya yang memiliki tanah secara absentee dan menjadikan sebagai aset atau investasi, tetapi di sisi lain lebih banyak petani banyak petani yang hanya mempunyai sebidang tanah yang tidak cukup menghidupi keluarganya atau bahkan tidak mempunyai sejengkal tanah pun untuk digarap. Kenyataan ini diperkuat oleh siaran yang disampaikan komisioner Komnas HAM pada CNN dengan merujuk laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015 yang memperlihatkan bahwa 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Sebagai contoh, menurut sumber yang sama konglomerasi seperti Sinar Mas Group sampai menguasai tanah seluas 5 juta hektar.
Penguasaan tanah secara luas oleh pemilik modal diasumsikan dapat menggenjot pertumbuhan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi yang diagung-agungkan tersebut sesungguhnya mengidap fenomena jobless growth, yakni pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan pengurangan tingkat pengangguran secara berarti. Dengan membandingkan antara tingkat pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat pengangguran dalam kurun waktu 2005-2013 dapat diketahui bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran hanya turun sekitar 0.03% (Bappenas, 2014). Sementara kesenjangan pendapatan secara makro meningkat semakin tajam, dimana Indeks Gini meningkat dari 0,34 pada tahun 2005 ke 0,40 pada tahun 2016.
Dampak lebih lanjut juga nampak pada potret kemiskinan dimana mayoritas penduduk miskin berada di wilayah pedesaan. Sampai dengan Maret 2016 penduduk miskin di kawasan perdesaan sebesar 17,67 juta jiwa atau sekitar 62,84% dari total jumlah penduduk miskin yang mencapai 28,01 juta atau 14,11 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2016). Tercatat pula bahwa dari 120,65 juta tenaga kerja Indonesia, sebanyak 38,29 juta (31,74%) bekerja di sektor pertanian. Dan yang lebih memprihatinkan lagi bahwa mayoritas dari mereka yaitu 27,03 juta orang (70,60%) memiliki latar belakang pendidikan tamat SD ke bawah. Sehingga tidak mengherankan jika dalam kurun waktu 2003-2013 terjadi pengurangan jumlah petani yang menguasai tanah dibawah 0,1 ha sebanyak 5,04 juta petani (BPS, 2013) dan berubah menjadi buruh dengan tingkat pendidikan dan kemampuan yang rendah di perkotaan. Yang pada akhirnya menjadi kaum miskin perkotaan.
Selain menimbulkan kondisi kemiskinan di pedesaan, akibat lainnya dari hilangnya akses masyarakat desa yang bersandar pada tanah sebagai alat produksinya yang utama, adalah terjadinya konflik-konflik agraria struktural utamanya di wilayah pedesaan/pedalaman. Sepanjang 2004 – 2014, terjadi 1.391 konflik agraria yang dialami petani/komunitas adat di berbagai sektor; perkebunan (38,53%), infrastruktur (37,02%), kehutanan (10,06%), tambang (6,47%), pertanian (1,65%), pesisir-kelautan (0,41%) dan lain-lain (5,82%) (Data KPA, 2014).
Dihadapkan pada permasalahan kesenjangan, pengangguran dan kemiskinan di Indonesia tersebut, mendesak sifatnya untuk ditempuh jalan reforma agraria yang sejatinya untuk merombak struktur pemilikan dan penguasaan sumber daya agraria sehingga terwujudnya keadilan dalam penguasaan tanah serta penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam. Reforma agraria juga sejatinya merupakan jalan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antara masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat dengan pemerintah.
Melalui rapat kabinet terbatas pada tanggal 24 Agustus 2016, Presiden Jokowi memerintahkan jajaran kabinetnya untuk menjalankan percepatan pelaksanaan reforma agraria. Pernyataan ini di satu sisi memberikan angin segar bagi pelaksanaan reforma agraria. Tapi disisi lain besar pula keraguan bahwa jalan reforma agraria yang akan ditempuh tidak berada pada jalur kesejatian tujuannya. Kesungguhan akan dapat teruji jika hanya ditempuh 9 agenda strategis yang juga merupakan 9 Maklumat Koalisi untuk Revolusi Kebijakan Agraria sebagai berikut:
- Evaluasi, penertiban, pengaturan ulang dan kontrol dalam kerangka penataan ulang sumber daya agraria dalam konteks kepentingan peningkatan kemanfaatannya bagi pencapaian kemakmuran bangsa serta keadilan antar generasi.
- Tinjau ulang semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya dan yang terbukti tidak sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960 harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti sesuai mandat TAP MPR No. IX Tahun 2001.
- Satu pintukan institusi pencatatan, perencanaan,dan pemberian izin penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah untuk mengatasi permasalahan tumpang tindih kebijakan dan kelembagaan.
- Tertibkan dan cabut izin penguasaan tanah yang luas dan tidak memberikan manfaat seperti hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan hutan (HPH), hutan tanaman industri (HTI), dan kembalikan kepada negara untuk kemudian diredistribusikan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
- Lakukan pencatatan, berikan perlindungan dan pengukuhan hak pemilikan pada kolektif/kesatuan masyarakat yang telah menggarap dan mengusahakan tanah-tanah negara yang tidak mengganggu fungsi ekologis.
- Rubah posisi perusahaan badan usaha milik negara (BUMN) dibidang perkebunan menjadi bergerak di sektor niaga, industri pengelolaan pasca panen serta pengembangan teknologi penunjang sektor pertanian dan perkebunan rakyat.
- Bentuk peradilan khusus tentang pelanggaran hak penguasaan atas tanah yang berlebihan dan penyelesaian konflik-konflik agraria.
- Hentikan setiap industri korporasi baik BUMN maupun swasta yang merusak tatanan sosio-ekologi.
- Lakukan audit dan pengusutan terhadap praktek korupsi baik dalam bentuk suap, pemerasan atau bentuk-bentuk lainnya pada penguasaan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria baik oleh BUMN maupun perusahaan swasta.
Bandung, 21 September 2016
Koalisi untuk Revolusi Kebijakan Agraria (KuRKA)
KPRI, P3I, SPP, STKS, PPC, SEPETAK, BARAYA TANI, SPPU, FSPK-KSN Jawa Barat, SHI Jawa Barat, Walhi Jabar, LBH Bandung, INISIATIF, AJI, KMU, FARMACI, FPMR, FPMG, FK3I, PSDK, PMII Cabang Bandung, HMI Cabang Bandung, PARALEGAL Jawa Barat, P2B, UKSK UPI, Front Anti Fasis, Perpustakaan Jalanan, Front Api
Kontak Person/Juru Bicara:
Sapei Rusin/08122029662