JAKARTA – Aktivis petani di Lumajang, Jawa Timur, dibunuh karena menolak operasi tambang di kampungnya, di Desa Selok Awar-Awar pada Sabtu 26 September lalu. Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Kent Yusriansyah mengatakan, ia bukan korban pertama yang tewas karena konflik Agraria.
Selama 10 tahun terakhir, terdapat 85 orang tewas akibat konflik agrarian atau lingkungan. Tak hanya itu, 110 juga terkena peluru aparat akibat berupaya mempertahankan lahannya. “Dalam pantauan KPA selama 10 tahun terakhir tercatat 85 orang tewas, 110 tertembak,” ujarnya Okezone, Selasa (6/10/2015).
Kent menambahkan, sebanyak 633 luka-luka akibat dianiaya dan 1.395 ditangkap. “Jumlah korban akibat konflik agraria masih tinggi,” imbuhnya.
Korban kriminalisasi konflik agraria dari Jawa Barat misalnya, sebanyak 131 orang. Selanjutnya di Banten terdapat tiga orang, Jawa Timur delapan, Jawa Tengah 13, Sumatera Utara 17, Sumatera Selatan 14, dan Sulawesi Tengah 15. Lalu NTT 11 orang, Bengkulu empat, Kalimantan Barat dua, Kalimantan Tengah 44, serta Kalimantan Timur satu orang.
“Rata-rata pelakunya adalah aparat kepolisian, preman, dan TNI yang biasanya dibayar oleh pihak perusahaan perkebunan, kehutanan, pertambanhan dll. Kita bisa melihat kasus di Lumajang,” sambungnya.
Merujuk pada data tersebut, KPA lantas mempertanyakan sikap negara terhadap para pejuang tani. Padahal, mereka berupaya mempertahankan haknya untuk tetap bisa menanam.
“Cukup aneh dalam pandangan saya, mengapa para pejuang tani yang mempertahankan hak atas tanah dan air harus berhadapan dengan kriminalisasi bahkan berujung pada hilangnnya nyawa,” ucap Kent.
(abp)
sumber: http://news.okezone.com/read/2015/10/06/337/1226741/selain-salim-85-petani-tewas-akibat-konflik-agraria