20160812_Diskusi1KPRI, Jakarta – Selama delapan belas tahun lebih, sejak kejatuhan Soeharto pada 1998, cengkeraman terhadap kekuasaan negara oleh faksi borjuasi Orde Baru dan faksi borjuasi baru semakin menguat melalui sistem oligarki yang berjalan saat ini. Sementara itu, pemodal raksasa dan negara-negara imperialis juga semakin mendesakkan kebijakan neoliberalnya. Perpaduan rezim oligarki yang korup dengan garis kebijakan neoliberal inilah yang semakin menghancurkan kehidupan rakyat.

Untuk itu, kekuatan penanding melalui pembangunan kekuatan politik alternatif semakin sangat dibutuhkan. Apalagi jika mengingat bahwa momentum Pemilu di tahun 2019 semakin mendekat. Organisasi-organisasi gerakan rakyat harus mampu memanfaatkan momentum Pemilu tersebut untuk menandingi rezim oligarki yang semakin menyengsarakan rakyat.

Hal ini terungkap dalam diskusi ringan “Politik Elektoral 2019 dan Prospek Gerakan Rakyat,” yang diselenggarakan Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) pada Jum’at lalu (12/08). Diskusi ringan yang dihadiri sekitar 50-an orang tersebut, juga dimanfaatkan oleh KPRI untuk memperkenalkan Kopi Congress sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan kemandirian ekonomi dari gerakan rakyat.

“Biji kopi yang kita produksi sebagian besar dihasilkan dari tanah-tanah hasil reclaming (perjuangan membebaskan tanah kembali yang sudah direbut oleh perusahaan-red),” kata Sekretaris Dewan Pimpinan Nasional (DPN) KPRI Anwar Ma’ruf.

Dalam diskusi terkait politik elektoral 2019, pembangunan kesadaran politik rakyat yang menjadi salah satu tahapan yang paling penting dalam upaya membangun partai politik alternatif merupakan topik pembahasan yang sangat hangat. Menurut Koordinator Majelis Pengarah Organisasi (MPO) KPRI Sapei Rusin, upaya pembangunan kesadaran politik rakyat tersebut membutuhkan konsistensi dari organisasi-organisasi gerakan rakyat. Ia juga menambahkan perjuangan organisasi gerakan rakyat juga harus melampui kegiatan rutinitas yang biasa dilakukan oleh organisasi-organisasi gerakan rakyat.

“Kita perlu memperjuangkan lebih jauh sebuah capaian organisasi yang selama ini dilakukan oleh kawan-kawan yang bergerak untuk melindungi anggota seperti advokasi dan melakukan aksi dalam setiap momentum, baik momentum besar seperti hari buruh dan hari tani. Capaian tersebut adalah pembangunan partai politik alternatif yang lahir dari kepentingan rakyat itu sendiri,” kata Sapei.

Senada dengan Sapei, anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) Erni juga menyatakan pentingnya pembangunan kesadaran berpolitik di tingkat basis secara sistematis. Menurutnya, kepercayaan masyarakat pedesaan, khususnya petani, terhadap partai politik sudah sangat menipis. “Mereka sadar bahwa sampai saat ini petani hanya menjadi alat pendulang suara momentum pemilihan umum. Artinya petani sadar bahwa partai politik yang ada sekarang belum bisa mengakomodir kepentingan petani,” ujarnya.

Untuk itu, tambahnya, harus dibangun kembali kesadaran akan pentingnya partai politik dan strategi menghadapi momentum politik elektoral melalui pendidikan-pendidikan politik di tingkat basis organisasi rakyat.

Melawan Politik Diaspora

20160812_Diskusi2Kemandekan pembangunan partai politik alternatif yang diinisasi oleh gerakan rakyat saat ini menyebabkan banyaknya para pemimpin organisasi memilih jalur diaspora (menyebar) ke partai politik borjuasi. Harapannya, melalui politik diaspora ini, para pemimpin organisasi rakyat tersebut dapat memperjuangkan kepentingan basis di organisasi rakyat. Namun hingga saat ini politik diaspora ini tidak terbukti dapat membawa perubahan berarti bagi kepentingan basis atau kepentingan masyarakat secara luas.

Di sisi lain, berdasarkan riset yang dilakukan Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI) disebutkan bahwa menjelang pemilihan umum ini, tokoh yang lahir dari gerakan akar rumput memiliki kecenderungan meraih popularitas yang meningkat. Menurut Manajer Pengembangan Penelitian dan Pusat Data Puskapol UI Dirga Ardiansa, peluang dari gerakan sosial untuk mengusung tokoh populis yang memiliki pengalaman membangun gerakan rakyat menjadi terbuka lebar.

“Namun untuk mengusung tokoh populis ini harus menyertakan adanya partai politik yang dibangun sendiri oleh gerakan rakyat,” tambahnya.

Pembangunan partai politik alternatif dari gerakan rakyat serta ikut dalam jalur politik elektoral tersebut, menurut Dirga, akan menutup strategi berdiaspora yang selama ini diandalkan oleh para pemimpin gerakan rakyat. Partai politik alternatif tersebut dibangun melalui konsolidasi luas dari gerakan-gerakan rakyat yang menolak politik diaspora dan siap bertarung dalam momentum politik elektoral. Maka dari itu, kesamaan ideologi dan visi gerakan menjadi kunci bagi upaya mewujudkan partai politik alternatif dari gerakan rakyat.

Tantangan Regulasi

Salah satu penyebab utama sulitnya gerakan-gerakan rakyat ikut masuk ke arena politik formal atau politik elektoral adalah adanya regulasi pemilu yang mempersulit pembangunan partai politik baru untuk ikut pemilu. Berbagai regulasi ini sengaja dibuat oleh partai-partai oligarki untuk memperkecil jumlah kompetitor dalam ruang elektoral, sehingga mereka bisa terus memonopoli arena politik yang ada.

Dalam mengimplementasikan UU Pemilu pun juga memiliki tafsir yang berbeda antara kementerian dan lembaga negara yang berwenang. Sekretaris Jenderal Partai Hijau Indonesia (PHI) John Muhammad menjelaskan multi tafsir UU Pemilu di lembaga-lembaga negara tersebut menyebabkan upaya Partai Hijau Indonesia (PHI) untuk turut serta dalam Pemilu 2019 menjadi terhambat.

“Menurut UU Pemilu yang baru, batas waktu untuk mendaftar sebagai partai elektoral adalah 2,5 tahun setelah Pemilu 2014. Itu artinya adalah sebelum bulan Oktober 2016. Akan tetapi ada perbedaan tafsir dari Kementerian Hukum dan HAM yang mengatakan bahwa sebelum bulan Oktober harus dilakukan verifikasi. Jelas ini adalah sebuah pengkhianatan terhadap UU itu sendiri,” jelasnya.

Multi tafsir terhadap UU Pemilu ini, menurut Dirga, memiliki konsekuensi bagi pemerintah untuk menyelenggarakan sistem pemilu proporsional yang tertutup. “Ada esensi bahaya yang selalu disebutkan bahwa APBN selalu krisis dan pemerintah dapat menjustifikasi penyelenggaraan pemilu harus efisien, mudah dan murah,” katanya.

Penyelenggaraan sistem proporsional tertutup, seperti di masa Orde Baru, dengan dalih APBN krisis sehingga penyelenggaraan pemilu harus murah, maka akan semakin memperkuat sistem oligarki kepartaian. Sistem tersebut juga disinyalir akan mempersempit kanal partisipasi masyarakat dalam Pemilu serta menjauhkan ekses hubungan antara pemilih dan wakil rakyat pasca pemilu. Untuk itu, Dirga juga mengusulkan adanya intervensi dari gerakan rakyat terhadap regulasi sistem pemilu di Indonesia.

Penulis: Rozi Hariansyah
Editor: Ari Yurino

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *