pengelolaan hutan diera Neoliberal tak dapat dilepaskan dari peran penting reproduksi disiplin ilmu pengetahuan pada teori-teori ilmiah tentang kehutanan. Tak jauh berbeda dengan diskursus pembangunan, good governance, partisifasi masyarakat sipil, desentralisasi dsb. Kenyataan yang terjadi disiplin ilmu pengetahuan telah mereduksi kebenaran pengetahuan komunal masyarakat desa hutan terutama yang bertalian erat dengan segi-segi kehidupan manusia lebih spesifik. Instrumen lain yang turut mendesak pengetahuan masyarakat tentang hutan adalah regulasi yang tak memberi ruang secara lebar bagi masyarakat untuk terlibat penuh dalam tata kelola hutan.
Kelembagaan pemerintah dan Perhutani yang saat ini masih menempati posisi dominan secara yuridis dalam tata kelola hutan memperbesar kecenderungan semakin parahnya kerusakan hutan. Hal ini disebabkan oleh kebijakan berikut wewenang kepada Perhutani dalam mengolah hutan yang hanya menomorsatukan profitabilitas semata. Pada keagungan fakta, kususnya di Karawang, dengan eratnya kaitan antara ilmu pengetahuan versi akademik dalam perkara pemangkuan secara fisik—rebosisasi, perawatan dan penebangan dengan aturan-aturan normatif yang mengkodifikasi implikasi hukum didalamnya justru malah mencetak potret buram hutan oleh penebangan secara masif baik penebangan yang terbuka maupun ilegal. Sementara kodifikasi ini pada tataran praktis telah mengambil bentuk yang paling tajam dengan melekatkan nilai-nilai kaidah kehutanan terhadap masyarakat sekitar hutan agar memahami bahwa peran mereka atas hutan bukan sekedar menjatuhkan pandangan pada karunia tuhan, melainkan tindak tanduk mereka yang mentradisi tercermin dari baik dan buruknya keberadaan hutan disekitar tempat tinggal mereka. Namun sebaliknya, para pemangku kepentingan terus menerus mengembangkan literatur moralitas terhadap hutan untuk menepis prasangka-prasangka jahat, dustruktif, amoral dan pelanggaran hukum dengan konsesi-konsesi pekerjaan dengan harapan apabila proyek penebangan hutan dan bahkan mengkonversi hutan menjadi kawasan tambang sekalipun adalah program negara yang senafas dengan ayat-ayat suci perundang-undangan serta teori sahih analisis dampak lingkungan yang berasal dari penelitian ilmiah insan akademik. Oleh sebab itulah Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan Lodaya tercipta sebagai mitra intim Perhutani.
Namun fakta umum yang berasal dari studi kasus yang menyatakan telah lama sering terjadi penyalahgunaan wewenang regulasi, misalnya perusahaan IUPHHK-Alam (HPH) melakukan penebangan di luar areal kerjanya dan di luar blok RKT yang disahkan, menebang melebihi toleransi volume yang diperkenankan, menebang di bawah limit diameter yang ditetapkan, dan lain-lain.
Neoliberal, kerap menyinggung kemanusiaan.
Sistem tata kelola hutan yang dioperasionalkan perhutani beserta antek-anteknya berupa noktah hitam sejarah yang hingga kini terus membekas. Seperti halnya tanah yang diperjualbelikan baik kepada perusahaan tambang atau yang lainnya, tanpa diikuti oleh proses ruislag yang benar dengan cara membeli tanah (non kehutanan) sebagai pengganti pada praktiknya tanah pengganti tersebut didapat dengan cara mencaplok tanah petani (berstatus milik adat). Buankah, prilaku seperti itu disebut kejahatan korupsi? Praktik korupsi yang entah sengaja atau pun tidak luput dari sorotan aparat penegak hukum kemudian berujung kriminalisasi, pemerasan dan intimidasi terhadap para petani.
IP4T dan Alternatif Tata Kelola Hutan Dalam Perspektif Industrialisasi Pertanian
“Hutan bukan warisan nenek moyang melainkan titipan Anak cucu”.
Peraturan Bersama 4 Menteri (Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, Menteri Dalam Negeri dan Menteri PU) tentang Inventarisasi, Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah yang sudah berjalan sejak tahun lalu, dan kemudian dikuatkan oleh SK Bupati, cukuplah menjadi alasan kuat bagi petani/masyarakat sekitar hutan yang mengelola tanah untuk mendapatkan kedaulatan atas tanah sebagai alat produksi, kedaulatan berproduksi dan kedaulatan atas hasil produksi. guna terselenggaranya sebuah proses produksi pertanian yang menjaga keutuhan hutan dan menjunjung nilai-nilai kolektifisme/komunal saatnya menyelenggarakan suatu sistem produksi yang sustainable dalam bentuk Industrialisasi Pertanian.
Industrialisasi Pertanian mengintrodusir prinsip Hak-hak dasar kemanusiaan, Demokrasi dan kelestarian. Yang menjadi penting dalam tahapan pembangunan Industrialisasi Pertanian adalah bagaimana menerapkan kesadaran prinsip-prinsip tersebut kepada setiap orang. Pengetahuan komunal masyarakat terkait dengan hutan yang telah lama ditindas harus terlebih dahulu dibebaskan bersamaan dengan kesanggupan perlawanan rakyat itu sendiri atas pengetahuan akademik hingga benar-benar terang benderang bahwa pengetahuan yang ilmiah tersebut merupakan subordinat dari kesatuan sistem neoliberal. Sebagaimana yang dikatakan James scott, rakyat terutama kaum tani melakukan perlawanannya berawal dari munculnya dominasi kekuasaan yang melalui pengetahuan menindas pengetahuan rakyat telah mengancam keberlanjutan subsistensi rakyat. Menurut Scott perlawanan ini terjadi ketika basis dari ekonomi lokal desa yang merupakan hak desa secara kolektif di langgar. Reaksi kaum tani terhadap kemungkinan perambahan memperlihatkan bagaimana vitalnya sumberdaya tersebut bagi subsistensi.
Secara umum pengamatan scott tadi hanya menerangkan seputar relasi sosial petani dengan kebijakan hutan ditengah arus ekonomi kaum tani yang individualis-tradisional. Namun realitas sosial demikian merupakan gambaran terang bahwa dari balik pengetahuan komunal tersimpan potensi besar dalam mengintegrasikan hutan kedalam kegiatan sistem ekonomi Industrialisasi Pertanian. Mengintegrasikan hutan bukan dalam konteks pemanfaatan hutan bagi ekstensifikasi melainkan menyerupai pilar penopang dukungan alam bagi kegiatan produksi berikut pemeliharaannya. Hak-hak kolektif kaum tani sendiri selanjutnya didapat dari pusat segala kegiatan produksi yang telah ditentukan obyekasinya dan terukur nilai ekonominya.
Adapun mengenai pemetaan geografi/koridor dimana kegiatan Industrialisasi itu diselenggarakan kemudian diselaraskan dengan karakteristik alam serta ketersediaan sumberdaya. Disetiap koridor itu pulalah hutan dibangun sebagai penyelaras produksi dan biarkan hutan memberikan seribu satu manfaat sebagaimana kemampuan fungsinya yang hakiki, sebelum bertambah banyak jatuh korban dipihak rakyat.
Atas hal tersebut di atas maka kami Serikat Petani Karawang mendesak aparat penegak hukum untuk :
- Mengusut tuntas kejahatan korupsi perhutani.
- Mengusut tuntas keterlibatan Nace Permana dan kelembagaannya dalam setiap kejahatan korupsi Perhutani
Dan atas dasar itu pulalah kami menyerukan kepada segenap petani sekitar hutan secara khusus dan masyarakat Karawang pada umumnya untuk:
- Melawan segala bentuk kejahatan perhutani, dan
- Boikot suara Nace Permana dalam Pilkada Karawang
Karawang, 13 Oktober 2015
Serikat Petani Karawang (SEPETAK)
Ketua Umum
HILAL TAMAMI
Cp +6281310207526