Jakarta, Kompas – Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Nurhasan Ismail mengungkapkan, pengakuan terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya di Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan belum tegas. Politik pengakuan pemerintah setengah hati, berbeda dengan UUD 1945 yang memberikan pengakuan penuh terhadap masyarakat adat dan haknya.
Hal tersebut disampaikan Nurhasan dalam sidang uji materi UU Perkebunan, Selasa (22/2). Sidang juga menghadirkan Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada Eddy OS Hiariej dan ahli lainnya. Permohonan diajukan Idrus Nawawi dan Haimingsi Hapsari, petani perkebunan.
Mereka mempersoalkan ketentuan Pasal 21 UU Perkebunan berupa larangan melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin, atau tindakan lain yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.
Menurut Nurhasan, selama ini pemerintah setengah hati mengakui keberadaan masyarakat adat. Ini tecermin dalam rumusan masyarakat hukum adat sebatas pada adat istiadat yang berkembang. Padahal, seharusnya masyarakat hukum adat disejajarkan dengan badan hukum privat sehingga masyarakat itu diberikan hak-hak tertentu.
Ia mengungkapkan, Pasal 21 UU Perkebunan itu—jika ditinjau dari perspektif ortodoks yurisprudensi—akan bertentangan dengan Pasal 12D, 28A, dan 28C UUD 1945. Jika Pasal 12D dijabarkan utuh, pemerintah harus lebih dulu mengakui masyarakat hukum adatnya. Mereka harus diajak bermusyawarah dalam persoalan perkebunan. Pertentangan bakal terjadi jika Pasal 21 UU Perkebunan dilaksanakan.
Eddy OS Hiariej mengungkapkan, Pasal 21 UU Perkebunan multitafsir dan membahayakan bagi kepastian hukum. Ketentuan itu bersifat kriminogen, dapat disalahgunakan oleh aparat penegak hukum untuk menjerat orang yang tidak bersalah atau membebaskan orang bersalah.
Pendapat itu berseberangan dengan pendapat pemerintah. Wakil pemerintah, Gamal Nasir, menyatakan, ketentuan Pasal 21 dan Pasal 47 UU No 18/2004 telah memenuhi perumusan norma hukum disertai sanksi pidana yang sesuai dengan perumusan tindak pidana dalam UU. (ana)
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/02/23/02474323/masyarakat.adat.belum.dapat.pengakuan.penuh