Nelayan dalam gerakan rakyat di Indonesia jika dibandingkan dengan petani dan buruh seolah tidak masuk hitungan sebagai catatan sejarah. Meskipun, dulunya Bangsa Indonesia dengan budaya maritimnya dikenal tangguh di laut, dengan keberadaan kerajaan Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan tersebutlah yang menorehkan cacatan tinta emas dalam sejarah penguasaan laut di  Tanah Air.

Kejayaan Sriwijaya dan Majapahit yang memiliki pengaruh kuat dalam penaklukan lautan bukanlah bantuan bangsa lain, melainkan sebagai kultur yang utuh melekat pada masyarakat Indonesia yang wilayahnya 2/3 adalah laut. Oleh karena itu pula nenek moyang ,bangsa kita disebut orang pelaut. Dengan laut jugalah berbagai peradaban dari berbagai belahan dunia seperti, India, Arab , China bahkan Eropa masuk ke  Indonesia. Lewat lautlah nenek moyang bangsa kita berasal dari Hindia Belakang sampai ke negeri ini.

Jika demikian bahwa, sesungguhnya budaya perjuangan nelayan telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka. Dan karena sejarah penaklukan , ataupun penciptaan daerah jajahan pada umumnya dengan penguasaan lautan, maka perubahan besar  yang  terjadi pada bangsa Indonesia berasal dari kultur maritim. Tidaklah mungkin kerajaan Sriwijaya dan Majapahit terbangun dan Berjaya tanpa dasar perjuangan, dan tidak mungkin pula para bangsa-bangsa dalam melakukan pembentukan daerah jajahan tidak menggunakan, cara-cara gerakan. Hanya saja kultur dan istilah gerakan pada jaman tersebut diletakkan dalam rangka invasi dagang lewat perang atau penaklukan wilayah .

Sejatinya bangsa  Indonesia,  yang  sejak awal kemerdekaan telah menempatan laut sebagai pemersatu bangsa, yang menghubungkan pulau-pulau di Tanah Air. Dan para pendiri bangsa ,telah menempatkan satu kesatuan pulau tersebut sebagai bukti keberadaan Bangsa Indonesia.  Lahirnya konsepsi Djuanda tahun 1957 dan Wawasan Nusantara yang ditetapkan dalam Tap MPR No.II/MPR/1988 merupakan tonggak sejarah penting bahwa bangsa kita berpadu dalam satu kesatuan ekonomi, politik, sosial, budaya dan pertahanan keamanan yang utuh. Namun tragisnya, pemimpin Negara kita mulai Rezim Orde Baru hingga pemerintah sekarang ini, tidak serius dalam menempatkan Indonesia sebagai satu kesatuan pulau tersebut, Bahkan dalam satu kesatuan pulau tersebut ada rakyat yang umumnya hidup dalam kemiskinan. Wajar jika kemudian pembangunan tidak menjawab persoalan rakyat hari ini,  karena tidak menjadikan laut sebagai basis ekonomi dan politik bangsa. Padahal masalah konflik perbatasan,  pencurian ikan, dan penyerabotan pulau-pulau adalah ranah kedaulatan bangsa. Maka wajar pula jika hingga hari ini nelayan masih terabaikan.

Terabaikannya nelayan dalam catatan sejarah gerakan rakyat tidak terlepas dari paradigma pembangunan yang sekian lama berorientasi kedarat,  selama orde baru hingga awal reformasi. Orientasi daratan dibuktikan bahwa sejumlah departemen yang dibentuk dan dulu hingga awal reformasi 1998 semuanya berbasiskan daratan, barulah setelah Gus Dur menjadi Presiden kemudian perhatian terhadap kelautan dan perikanan mulai berkembang. Hal  ini juga tidak terlepas dari para ilmuan sosial yang selama ini lebih banyak mengkaji soal daratan, seperti pertanian, industry dan bahkan kajian politik.

Sesungguhnya gerakan nelayan memilki sejarahnya sendiri, yang dalam perkembangnya di Indonesia di dimulai tahun 1970-an, yakni dengan masuknya kapitalisme di wilayah pedesaan pesisir lewat modernisasi penangkapan ikan terutama di pulau Jawa dan Sumatera . Pengenalan alat tangkap modern seperti pukat harimau (trawl) telah membawa wabah penentangan nelayan tradisional terhadap masuknya modernisasi. Namun, karena gerakan seringkali dimaknai sebagai bagian politik-ekonomi  yang sempit, maka penentangan nelayan terhadap pukat harimau kurang atau bahkan tidak dianggap sebagai bagian gerakan.

Atau dalam kerangka sosiologinya masih dianggap hanya konflik social karena factor kesenjangan ekonomi semata (determinisme ekonomis). Gerakan nelayan yang awalannya dimulai secara sporadic (tidak sistematis dan terencana), dan dilakukan secara sendiri, bahkan juga“ diboncengi” oleh kepentingan politik melalui sebuah organisasi nelayan bentukan rezim Orde Baru.  Upaya sistematis rezim orde baru dalam mematikan kesadaran rakyat dilakukan dengan berbagai cara,  termasuk memanfaatkan isu trawl untuk meraih dukungan massa nelayan dalam perhelatan pemilu. Terbitnya Kepres 39 Tahun 1980 tentang Pelarangan Trawl di Indonesia, meski dianggap sebagai bagian penting dalam menentang trawl di laut, namun lemahnya penegakan hukum, telah menjadikan kondisi kebijakan tersebut bagaikan “singa ompong” dan tak “bercakar”. Dampaknya, tingkat penentangan nelayan terhadap trawl terus berlangsung yang telah mengakibatkan korban nyawa manusia. Oleh karena hak-hak nelayan sudah tidak ada dilindungi di laut, maka gerakan penghapusan trawl  akhirnya dilakukan dengan main hakim sendiri. Dan lagi-lagi Negara menyalahkan aksi nelayan menentang trawl karena dianggap melanggar hukum.  Disinilah letak ketidak keberpihakan Negara terhadap rakyatnya, dan kebijakan yang dibuatnya. Dengan kondisi ini pulalah,  telah memunculkan kesadaran akan pentingnya organisasi untuk melakukan gerakan perubahan yang lebih baik disektor kelautan khususnya kehidupan nelayan.

Tahun 1990-an, sebelum reformasi  1998 kesadaran tentang pentingnya gerakan nelayan mulai berkembang di kalangan aktifis ORNOP. Meski pada waktu itu, masih kalah popular dengan gerakan petani dan buruh, namun beberapa aktifis Ornop khususnya di Sumatera Utara mulai merancang dan membuat kegiatan yang mempertemukan para nelayan. Mulai dari bentuk kontak antar nelayan, dan sarasehan nelayan Sumatera Utara. Represifnya orde baru pada waktu itu, berdampak besar bagi pertumbuhan gerakan rakyat di Indonesia. Gerakan rakyat diidentikan sebagai penentangan terhadap pembangunan. Hal tersebut juga telah mempengaruhi tumbuhnya gerakan di sector nelayan. Upaya untuk membangun gerakan nelayan tahun 1990-an, yang penuh tantangan telah membawa pengaruh positif munculnya penentangan secara terorganisir. Pada tahun 1998, dengan proses yang sudah ada sebelumnya, dan atas dorongan kesadaran yang kuat dari para nelayan dari tiga kabupaten di Sumatera Utara (Kabupaten :Langkat, Deli Serdang & Asahan), maka dibentuklah Sarekat Nelayan Sumatera Utara (SNSU) yang di deklarasikan pada tanggal 14 juli 1998, sebagai satu-satunya organisasi nelayan yang secara tegas mendeklarasikan dirinya sebagai organisasi di luar bentukan Negara.  Selanjutnya, pertumbuhan organisasi nelayan meluas seiring euphoria reformasi.

Namun, SNSU sendiri dengan kesadaran pentingnya bangunan gerakan yang kuat, telah secara konsisten hadir dan berjuang dengan mengajak nelayan di berbagai daerah di Indonesia untuk berorganisasi .Dasar perjuangan diletakkan pada pengorganisasian melalui pendidikan bagi kader-kader nelayan di berbagai tempat. Sehingga melahirkan organisasi-organisasi nelayan di daerah lain di luar propinsi Sumatera Utara bahkan mendorong lahirnya sebuah wadah organisasi Nasional yakni : federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) yang di deklarasikan di Labuan Banten pada tanggal 10 agustus 2002.

Dengan adanya organisasi nelayan, maka tahun 2000-an menjadi masa konsolidasi organisasi nelayan. Pertumbuhan organisasi nelayan di Tanah Air meskipun belum menjadi satu kesatuan yang kuat yang menjadikan gerakan tidak lagi sekedar persoalan alat tangkap seperti pukat harimau. Organisasi nelayan telah menempatkan dirinya sebagai bagian yang sejajar dengan gerakan social lainya. Isu gerakan pun berkembang kearah yang lebih mendasar yakni soal hak-hak rakyat atas sumberdaya laut , Isu lingkungan, perempuan dan anak sudah dijadikan sebagai bagian penting dalam pergerakan nelayan. Mulai tahun 2000 an sampai sekarang gerakan nelayan bahkan menjadi hal yang sangat dinamis tidak hanya karena isu Kelautan dan pesisir menjadi bagian yang strategis dalam pembangunan nasional melainkan juga Karena realitas kehidupan nelayan hingga saat ini belum beranjak dari kemiskinan.

Nelayan masih menjadi anak tiri bangsa ini,  sehingga keberadaan gerakan nelayan akan sangat menentukan bagi perubahan yang lebih baik .Gerakan nelayan juga tidak sekedar menjawab realitas social ekonomi hari ini tetapi secara politik, gerakan nelayan harus bias menjawab tantangan politik. Politik yang saat ini dikuasai segelintir orang (oligarki) yang berkolaboras idengan para pemburu rente tidak bisa lagi diharapkan dalam merubah situasi buruk yang dihadapi nelayan saat ini. Oleh karena itu gerakan nelayan yang berada di seluruh penjuru Tanah Air harus bergandengan dan sepenuh hati memperjuangkan nasibnya.

PERMASALAHAN NELAYAN NUSANTARA

Modernisasi perikanan/Blue Revolution adalah suatu kebijakan modernisasi dalam bidang perikanan/kelautan. Kebijakan ini dikeluarkan oleh pemerintah ditahun 1970-an. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk meningkatkan taraf kehidupan ekonomi nelayan yang direalisir dengan melakukan modernisasi penangkapan ikan dan motorisasi perahu. Teknologi penangkapan yang digunakan dalam revolusi biru adalah Jaring Trawl, Pukat harimau, Pukat udang dan Jaring berkantong.

Hal inilah yang menjadi pangkal permasalahan timbulnya benturan kepentingan antara nelayan tradisional dengan nelayan pengusaha Jaring Trawl, hinggga akhirnya mengakibatkan ketegangan sosial antara kedua kelompok tersebut. Di penghujung tahun tujuh puluhan ketegangan bertambah meruncing sehingga dikhawatirkan menimbulkan akibat yang semakin merugikan banyak pihak termasuk keamanan dan kesejahteraan sosial kelompok nelayan tradisional. Oleh karena itu berdasar Keputusan Presiden No.39 tahun 1980 penggunaan Jaring Trawl dilarang.

Munculnya Kepres ini kemudian tidak mampu menjawab persoalan nelayan hingga hari ini, konflik penggunaan alat tangkap ikan yang merusak terus berlanjut dengan perlawanan kaum nelayan yang lebih massif. tidak hanya bicara soal penangkapan ikan yang merusak akan tetapi melebar kearah isu kawasan pesisir, penegakan kedaulatan di laut dan kemandirian nelayan.

Masih sejalan dengan revolusi biru yang dijalankan oleh Pemerintah Orde Baru, tahun 80-an diberlakukan pembukaan lahan mangrove (kawasan hutan lindung pantai) menjadi tambak udang hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia yang berakibat rusaknya kawasan pesisir dan berkurangnya hasil tangkapan nelayan, karena sejatinya hutan mangrove adalah tempat bagi biota laut untuk berpijah. Dua peristiwa besar diatas dapat dikatakan menjadi pokok persoalan yang menyebabkan munculnya perlawanan kaum nelayan Indonesia untuk merebut kembali kedaulatannya yang telah dirampas oleh kaum pemodal. Hal itu pula yang menyebabkan sulitnya untuk mencapai keadilan social bagi kaum nelayan Indonesia, berbagai masalah lain yang muncul sebagai dampak dari kebijakan revolusi biru tersebut adalah :

  1. Penggunaan alat tangkap ikan yang merusak lingkungan seperti trawl dan sejenisnya dimodifikasi oleh Negara dengan istilah-istilah baru namun pada prinsipnya masih saja trawl, sehingga mengakibatkan terjadinya over fishing di berbagai wilayah laut yang ada di Indonesia dan masih menimbulkan konflik.
  2. Terjadinya kerusakan kawasan pesisir hampir diseluruh kawasan pesisir Indonesia. Kementerian Kehutanan mencatat, ada 7.758.410,59 hektar hutan mangrove di Indonesia. Namun, hampir 70 persen rusak.  422.263 hektar hutan mangrove di Indonesia dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
  3. Konflik perbatasan perairan RI – dengan Negara Tetangga, sebagai contoh penangkapan nelayan Indonesia oleh tentara Diraja Malaysia yang menunjukkan lemahnya peran Negara dalam melindungi kaum nelayan untuk menangkap ikan dilaut. Nelayan Indonesia tidak di bekali dengan alat navigasi dan pengetahuan tentang batas wilayah dan proses hukumnya, peristiwa ini hanya dianggap sebagai keteledoran nelayan Indonesia semata tanpa melihat akar persoalan yang terjadi.
  4. Terjadinya penguasaan modal asing di perikanan melalui perdagangan bebas, Negara tidak lagi memiliki “ kuasa” untuk mengatur perdagangan akan tetapi hanya menjadi penjaga asset-aset individu yang bergerak di sector perikanan yang berimbas semakin sempitnya ruang gerak nelayan untuk hidup dengan layak.
  5. Sulitnya kaum nelayan mendapatkan akses permodalan untuk memiliki alat produksinya,  nelayan sulit mendapatkan kepercayaan dari perbankan dan ketergantungan nelayan dengan kaum modal menyebabkan nelayan hanya menjadi buruh nelayan
  6. Perubahan iklim mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrim yang akhirnya menghambat kaum nelayan untuk menangkap ikan dilaut, dana paceklik bagi nelayan dicabut oleh Negara yang mengakibatkan nelayan Indonesia semakin terpuruk dan tidak berdaya.
  7. Negara atas nama pembangunan menggusur  kehidupan nelayan ; sebagai contoh menggusur pemukiman dan wilayah tambat untuk nelayan menjadi kawasan pariwisata, industry dan tambang

PROGRAM POKOK  FEDERASI SERIKAT NELAYAN NUSANTARA (FSNN)

Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) adalah sebuah organisasi yang diharapkan dapat menjadi wadah bagi organisasi-organisasi nelayan di daerah untuk melakukan tekanan perubahan kebijakan dan reformasi system kelautan Indonesia. Melalui wadah ini diharapkan dapat mendorong penguatan kapasitas organisasi nelayan di daerah yang mandiri dan bermartabat, nelayan tidak lagi di anggap sebagai masyarakat kelas II yang tidak diperhitungkan akan tetapi menjadi bagian yang terintegrasi dengan gerakan rakyat lainnya untuk merebut kedaulatannya. Nelayan sejatinya harus Berjaya dilautan dan Berjaya didaratan menjadi penentu terhadap arah juang untuk mencapai kemerdekaannya dan keadilan social bagi seluruh bangsa Indonesia.

Dalam mencapai tujuan dan cita-cita mulia tersebut, maka Federasi Serikat Nelayan Nusantara (FSNN) dengan ini menyampaikan berbagai program pokok yang tertuang dalam manifesto gerakan Nelayan Nusantara yakni :

  1. Turut serta menegakkan pelaksanaan Undang-undang Perikanan No.45 tahun 2009 tentang Perikanan yang tertuang dalam pasal 9 ayat (1) yang menjelaskan bahwa “ Setiap orang dilarang memiliki, menguasai,membawa, dan/atau menggunakan alat  penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia”.
  2. Mendesak Pemerintah untuk mengembalikan fungsi ekologis hutan mangrove dengan membatalkan seluruh konsensi kawasan hutan lindung pantai di Indonesia menjadi perkebunan kelapa sawit dan mengembalikan fungsi ekologis lahan-lahan eks tambak udang yang masuk dalam kawasan hutan lindung pantai dengan melakukan rehabilitasi kawasan hutan dengan penanaman kembali hutan mangrove
  3. Mendorong Negara untuk melindungi nelayan menangkap ikan di wilayah perbatasan dan menentukan tapal batas perairan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan dari kawasan Nusantara dan kedaulatan Negara Republik Indonesia.
  4. Mendorong peran aktif Negara melindungi keberlangsungan hidup nelayan miskin yang jumlahnya mencapai 9 juta orang untuk melakukan upaya penangkapan ikan di seluruh perairan laut di wilayah Nusantara dengan tetap memperhatikan kultur atau budaya nelayan disetiap wilayah pesisir yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  5. Mendorong Peran Negara agar tata niaga perikanan dapat berkeadilan dalam menjaga stabilitas harga ikan sehingga kebutuhan ikan dalam negeri lebih dulu diprioritaskan dan membatasi Impor ikan yang merugikan nelayan lokal
  6. Mendesak Pemerintah agar segera melakukan evaluasi terhadap pengadaan 1000 buah kapal 30 GT karena dipandang tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan nelayan, sebab tidak semua wilayah pesisir di Indonesia membutuhkan kapal tersebut apalagi biaya operasional yang cukup tinggi tidak dapat dipenuhi nelayan, yang pada akhirnya jatuh ketangan pengusaha dan memperkuat konglomerasi  yang menindas kaum nelayan.
  7. Bersama-sama dengan sektoral lainnya membangun kekuatan lintas sector yang akan menghantarkan kaum nelayan dan rakyat Indonesia mencapai keadilan dan kemakmuran sesuai dengan semangat kemerdekaan Bangsa dan Negara Republik Indonesia.

(disampaikan pada acara Konferensi Nasional Nelayan Nusantara, Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, 7 Desember 2011 oleh Federasi Serikat Nelayan Nusantara)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *