Salam Pergerakan,
Pada 7 Juli 2015 lalu, Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBALI) mengeluarkan pernyataan sikap untuk mendesak Presiden Jokowi agar segera membatalkan Perpres No 51 Tahun 2014 tentang perubahan atas Perpres No 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (SARBAGITA). Di tanggal 15 September 2015, ForBALI kemudian melakukan aksi damai untuk memperjuangkan status wilayah perairan teluk Benoa sebagai area konservasi. Aksi penolakan oleh masyarakat Bali terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa ini telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu dan hingga saat ini masih menggantung statusnya.
Namun jika melihat menilik latar belakang reklamasi ini ada beberapa hal yang menarik. Rencana proyek reklamasi ini sebenarnya telah berlangsung sejak tahun 2012. Upaya memuluskan proyek ini melalui berbagai kebijakan juga telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat, walaupun bertentangan dengan kebijakan sebelumnya dan berpotensi merugikan masyarakat.
Sebelumnya, telah berlaku Perpres No 45 tahun 2011 tentang tata ruang kawasan Sarbagita, di mana kawasan teluk Benoa termasuk kawasan konservasi. Selain itu, juga telah berlaku Perpres No 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang melarang reklamasi dilakukan di kawasan konservasi. Kedua Perpres tersebut jelas menghambat rencana pembangunan proyek reklamasi di teluk Benoa.
Untuk merealisasikan rencana proyek reklamasi Teluk Benoa, pada 26 Desember 2012, Gubernur Bali I Made Mangku Pastika memberikan izin reklamasi kepada PT. Tirta Wahana Bali International (TWBI) di kawasan perairan Teluk Benoa seluas 838 hektar melalui SK No 2138/02-C/HK/2012 tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa. Pada 16 Agustus 2013, SK No 2138/02-C/HK/2012 dicabut melalui penerbitan SK Gubernur Bali No 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. Namun pada dasarnya SK terbaru ini hanyalah revisi SK yang pertama dan tetap memberikan hak kepada PT. TWBI untuk melakukan kegiatan reklamasi berupa kegiatan studi kelayakan di Teluk Benoa, Bali.
Tentu saja penerbitan kedua SK Gubernur Bali tersebut bertabrakan dengan Perpres No 45 tahun 2011 dan Perpres No 122 tahun 2012. Untuk memuluskan rencana proyek reklamasi tersebut, Presiden SBY kemudian mengeluarkan Perpres No 51 tahun 2014 tentang Perubahan atas Perpres No 45 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA. Pada intinya, Perpres No 45 tahun 2011 ini mengubah status konservasi Teluk Benoa menjadi zona penyangga atau kawasan pemanfaatan umum. Perpres No 51 tahun 2014 ini mengakibatkan terhapusnya pasal-pasal yang menyatakan Teluk Benoa adalah kawasan konservasi serta mengurangi luasan kawasan konservasi perairan. Pasca terbitnya Perpres tersebut, PT TWBI kemudian mengantongi izin lokasi reklamasi dari Menteri Kelautan dan Perikanan di kawasan perairan Teluk Benoa seluas 700 hektar, dengan nomor izin: 445/MEN-KP/VIII/2014,
Reklamasi ini diprediksi akan menyebabkan berbagai dampak negatif, khususnya bagi penduduk yang berada di sekitar wilayah tersebut. Beberapa dampaknya antara lain: 1) rusaknya fungsi dan nilai konservasi; 2) banjir; 3) rentan bencana; 4) rusaknya terumbu karang; 5) mengancam ekosistem mangrove; 6) mengancam dan memperparah abrasi pantai; 7) meluasnya bencana ekologis; 8) pemilik modal mendapatkan tanah dengan biaya yang murah; 9) alih fungsi lahan; dan yang lainnya.
Terbitnya SK Gubernur Bali dan Perpres No 51 tahun 2014 tersebut menunjukkan bahwa upaya memuluskan proyek reklamasi ini memang dipaksakan, baik oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Kebijakan-kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan daerah pada saat ini jelas hanya untuk kepentingan pemilik modal, dalam hal ini PT TWBI, dan tidak peduli dengan nasib masyarakat di sekitarnya. Perusahaan itu sendiri rencananya akan membangun pusat pariwisata terpadu, pusat bisnis, rumah sakit internasional, perumahan hingga hotel. Berbagai proyek pembangunan tersebut, sekali lagi, jelas tidak akan menguntungkan bagi masyarakat sekitar.
Reklamasi yang dipaksakan oleh pemerintah ini bukan hanya terjadi di Teluk Benoa. DKI Jakarta, sebagai ibukota negara, saat ini juga berencana mereklamasi sepanjang pesisir Jakarta dan sekitarnya atau dikenal dengan proyek Giant Sea Wall. Proyek ini konon akan menjadi tanggul terbesar di dunia, yang mampu menangkal pasang air laut serta mengatasi banjir dan menjadi penampungan air dari 13 sungai yang nantinya bisa diubah menjadi air bersih. Proyek Giant Sea Wall ini akan dikembangkan menjadi proyek terpadu untuk membuat 17 pulau buatan, yang di atasnya dibangun perumahan, hotel, pusat bisnis, belanja dan lain-lain.
Pada awal rencananya, proyek Giant Sea Wall akan dibangun pada tahun 2020, tetapi pada saat Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta, pengerjaan proyeknya dipercepat dan peletakan batu pertamanya sudah dimulai pada Oktober 2014 lalu. Kelompok usaha dari Agung Podomoro bahkan sudah memulai reklamasi pulau G karena menganggap sudah mengantongi izin dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Desember 2014 lalu. Namun perihal izin melalui SK No 2238 tahun 2014, yang dikantongi Agung Podomoro ini kemudian mendapatkan masalah karena pada Februari 2015 lalu Kementerian Perikanan dan Kelautan menuding Ahok melanggar pemberian izin reklamasi. SK No 2238 tahun 2014 tersebut juga bertentangan dengan beberapa regulasi lainnya, seperti Perpres No 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; Permen LH No 5 tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; Perpres No 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil seret beberapa regulasi lainnya.
Pengalaman proyek reklamasi bukan hanya terjadi kali ini saja. Proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk (PIK), proyek bisnis hunian elit di pesisir Jakarta, saat ini dituding menjadi penyebab banjir di Jakarta. Awalnya Ciputra, sebagai pengembang PIK, menyatakan proyek reklamasi PIK tidak akan merusak lingkungan dan bahkan berjanji akan menyediakan lahan pengganti serta pembangunan hutan lindung. Namun hingga saat ini janji tersebut tidak pernah direalisasikan oleh Ciputra, dan tidak pernah ada tindakan apapun dari pemerintahan DKI Jakarta.
Berbagai proyek pembangunan, dalam hal ini proyek reklamasi, jelas terbukti hanya akan menguntungkan para pemilik modal. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dengan berbagai cara bahkan menabrak regulasi lainnya, berusaha memuluskan proyek-proyek reklamasi tersebut. Sementara kerusakan lingkungan dan hilangnya lahan pencaharian bagi rakyat tidak pernah menjadi perhatian bagi pemerintah daerah maupun pemerintah pusat atau bahkan dewan perwakilan di daerah, pusat hingga partai politik. Rakyat dibiarkan kehilangan haknya untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dan baik serta mendapatkan penghidupan yang layak.
Untuk itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap:
- Menolak reklamasi di Teluk Benoa dan Teluk Jakarta yang hanya menguntungkan pemilik modal dan menyengsarakan rakyat;
- Cabut seluruh kebijakan yang berupaya memuluskan proyek reklamasi di Teluk Benoa dan Teluk Jakarta;
- Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan kesejahteraan sejati bagi rakyat Indonesia.
Bandung, 17 September 2015
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia