Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menentang keras rencana pemerintah yang akan menggusur ribuan petani kopi di sekitar kawasan Taman Nasional Kerinci, Seblat, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Pasalnya, para petani sudah lebih dari 10 tahun menggarap lahan tersebut dan tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah.

“Ini soal sulitnya rakyat mendapatkan hak atas tanah. Padahal mereka membangun kebun tanpa sepeserpun bantuan pemerintah,” tegas Iwan Nurdin dari Deputi Kajian dan Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria, Sabtu (9/10/2010).

Menurut Iwan Nurdin, pemerintah seharusnya justru memberikan akses seluas-luasnya terhadap petani miskin untuk bisa memiliki tanah dan lahan garapan. Bukan sebaliknya malah mengusir petani yang sudah berhasil mengubah hutan dan tanah terlantar menjadi area lahan pertanian.

“Pengusiran ini semakin jelas menunjukan bahwa pemerintah memang tidak pro-rakyat. Orientasi pemerintah hanya pro sama modal besar. Sehingga area hutan lebih banyak untuk kepentingan industri dan perusahaan. Bukan untuk rakyat,” imbuhnya.

Sehingga jika kebijakan semacam ini terus dibiarkan, Iwan Nurdin mengatakan bahwa ini akan semakin mengakhibatkan ketimpangan kepemilikan lahan. Rakyat miskin tidak lagi memiliki akses tanah dan sumber daya alam lainnya. Selain mengakhibatkan kemiskinan juga dapat merobek-robek rasa keadilan masyarakat.

Menurut Iwan Nurdin, Bupati Merangin melalui sebuah surat yang ditanda tanganinya pada 22 September 2010 lalu, menghimbau agar petani segera menghentikan kegiatan dan meninggalkan kawasan hutan negara eks HPH PT Injapsin dan PT Serestra II pada perbatasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS). Paling lambat sebelum 30 September 2010. Jika tidak maka akan ada operasi tim gabungan yang melakukan pemusnahan tanaman, rumah, dan fasilitas lain yang selama ini dikuasai petani.

“Rencana penggusuran ini jelas melahirkan kepanikan dan keresahan masyarakat disekitar kawasan itu,” imbuh pria satu anak asal Lampung ini.

Padahal menurutnya, sedikitnya ada lebih dari 10.000 warga yang tinggal di dua kawasan hutan tersebut.  Mereka berasal dari Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Mereka masuk ke kawasan ini secara berkelanjutan sejak tahun 1998. Masyarakat pendatang ini, lalu membangun perladangan dan kebun dengan menanam kopi sebagai komoditas andalannya. Hingga kini, sedikitnya sekitar 9.000 hektar lahan hutan milik negara yang sudah disulap menjadi kawasan perkebunan kopi milik warga.

Bahkan menurut hasil pantauan KPA, kebun kopi ini sudah memberikan hasil yang positif untuk mengentaskan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan hutan ini pun meningkat sehingga dapat menggerakan roda ekonomi pemerintah daerah tersebut.

Iwan Nurdin mengatakan, sebenarnya lahan yang digarap petani ini tidak begitu luas jika dibanding total kawasan eks HPH yang dikelola oleh PT Serestra II yang mencapai 96.000 hektar dan eks PT Injapsin 49.000 hektar. Namun, pemerintah tetap ngotot dan ingin menggusur petani yang sudah mengelola lahan ini bertahun-tahun.

Karena itu, KPA menghimbau agar petani kopi dikawasan itu tetap bersatu dan mengkonsolidasikan diri untuk menghadapi rencana penggusuran ini. Tanpa persatuan dan kesatuan dari petani, tentu akan menjadi semakin sulit bagi petani untuk tetap dapat mempertahankan haknya*-Sidik Suhada-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *