Penggusuran rakyat miskin merupakan masalah yang klasik di Jakarta. Alasan yang biasa digunakan oleh Pemprov adalah demi “kepentingan umum.” Tetapi, betulkah demikian? Untuk mencari jawaban atas pertanyaan ini, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Wilayah DKI Jakarta, sebuah organisasi politik rakyat, menggelar diskusi pada 28 Oktober 2015 dengan tajuk “Penggusuran di Jakarta: Untuk Kepentingan Siapa?”
Berdasarkan data yang ada, ada tiga alasan penggusuran yang dominan. Pertama, untuk urusan perairan kota seperti waduk, kali, saluran air, dan sebagainya, dengan alasan mengatasi banjir. Kedua, untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH). Ketiga, untuk pengembangan jalan, baik itu pelebaran jalan maupun pembangunan jalan baru, jalan tol atau jembatan.
Data LBH Jakarta tentang potensi penggusuran pada 2014, yang didasarkan atas analisa RAPBD, misalnya, menunjukkan bahwa dari total 131 potensi penggusuran, 35 potensi penggusuran ditujukan untuk kali, waduk, saluran air dan sejenisnya; 34 ditujukan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan 32 untuk jalan serta jembatan. Sementara, 30 sisanya ditujukan untuk beragam hal, seperti TPU, pembangunan rumah susun, dan lain-lain.
Kemudian, berdasarkan Laporan Penggusuran Paksa di DKI Jakarta pada Januari-Agustus 2015 yang juga diterbitkan LBH Jakarta, selama 8 bulan itu, terjadi 30 kasus penggusuran paksa dengan korban 3433 KK dan 433 unit usaha. Dari 30 kasus itu, 12 kasus ditujukan untuk normalisasi wilayah perairan.1 Adapun berdasarkan pantauan KPRI DKI Jakarta selama September-Oktober 2015, terjadi 5 kasus penggusuran di Jakarta, dimana tiga diantaranya terkait dengan persoalan perairan kota.
Alasan banjir dan RTH memang mudah dibuat seolah-olah untuk “kepentingan umum.” Tetapi, jika betul Pemprov berkomitmen mengatasi banjir dan membangun RTH, kenapa mall-mall, pemukiman mewah, apartemen, dan hotel, yang dibangun di atas daerah resapan air dan mengkonversi lahan RTH menjadi tempat bisnis dibiarkan? Kenapa hanya rakyat miskin yang digusur dengan alasan tersebut?
Belum lama ini, Aktual.com pernah mengeluarkan data tentang alih fungsi RTH untuk bisnis di Jakarta.2 Ada setidaknya 5 daerah RTH, resapan air dan fasilitas publik, dengan total luas 3.297 hektare, yang fungsinya dialihkan untuk bisnis. Daerah itu adalah Pantai Kapuk, Sunter, Kelapa Gading, Hutan Kota Tomang dan Hutan Kota Senayan. Di atas kelima daerah itu sudah berdiri pemukiman elit, mall, hotel, apartemen, dan sebagainya.
Inkonsistensi Pemprov ini membuat kita patut mencurigai retorika “kepentingan umum” mereka ketika melakukan penggusuran. Jangan-jangan, RTH menyempit karena alih fungsi lahan RTH untuk bisnis, tetapi rakyat miskin yang membayar ongkosnya. “Alasannya selalu identik dengan orang miskin jadi kambing hitam atas masalah Jakarta. Stigma terus dibangun agar dapat dukungan kelas menengah. Bahwa penggusuran wajar dan halal dilakukan,” ungkap Rio Ayudhia Putra, Ketua KPRI DKI Jakarta.
Lahan di Jakarta sendiri memang sudah sempit. Agar bisa terus dipakai untuk bisnis, Pemprov sebenarnya juga membuka lahan baru, seperti dengan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Adapun sekitar 80-90% tanah di Jakarta dikuasai pihak swasta. Para penguasa lahan ini diantaranya adalah Tomy Winata, Agung Podomoro Group, Ciputra, Bakrie, dan Agung Sedayu Group.
Terkait banjir, mengingat inkonsistensi Pemprov, meragukan juga apakah penggusuran dengan alasan banjir itu sungguh-sungguh untuk mengatasi banjir atau hanya dalih saja agar ada proyek konstruksi untuk pebisnis. Apalagi salah satu sumber banjir, yaitu minimnya penampungan air di daerah selatan yang tinggi, tidak pernah diselesaikan. Penampungan untuk air yang datang dari Bogor hanya ada di Katulampa. “Sementara, di puncak malah banyak vila milik pemerintah, artis dan politisi, padahal daerah itu bisa menjadi daerah resapan air,” tandas Rio.
Dan kalaupun ada penggusuran yang benar-benar untuk mengatasi banjir, tetap perlu dipertanyakan, apakah upaya itu untuk “kepentingan umum” seperti retorika Pemprov, ataukah untuk kepentingan bisnis properti? Pasalnya, banjir bisa berpengaruh pada harga properti. Misalnya, harga rumah atau properti di kawasan Puri Indah dan jalan Daan Mogot naik, ketika sudah tidak banjir lagi dan ada pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol.3
Terkait pelebaran atau pembangunan jalan, dalih yang sering dikemukakan pemerintah adalah untuk mengurangi kemacetan. Namun, sudah cukup banyak yang membantah bahwa pertumbuhan jalan akan bisa mengurangi kemacetan. Sebaliknya, pertumbuhan jalan hanya akan memfasilitasi pertumbuhan kendaraan pribadi yang merupakan salah satu sumber kemacetan di Jakarta.
Data BPS menyatakan, selama 2010-2014, jumlah sepeda motor meningkat dari sekitar 8,8 juta menjadi 13,1 juta dengan pertumbuhan sebesar 10,54% per tahun. Sementara, selama tahun itu, jumlah mobil penumpang bertambah dari sekitar 2,3 juta menjadi 3,3 juta dengan pertumbuhan sebesar 8,75% per tahun.4 Jika pertumbuhan jalan hanya memfasilitasi pertumbuhan kendaraan pribadi, maka bukankah itu berarti bahwa pertumbuhan jalan memfasilitasi perkembangan bisnis otomotif?
Kemudian, melihat sektor perdagangan yang Produksi Domestik Regional Bruto (PDRB) paling besar di Jakarta selama 2010-2014,5 pertumbuhan jalan di Jakarta sepertinya juga memiliki fungsi mempercepat pergerakan komoditi dari sentra produksi atau gudang ke pengecer untuk mempercepat waktu jual-beli dan sirkulasi kapital. Singkatnya, pertumbuhan jalan di Jakarta juga berfungsi untuk memfasilitasi perkembangan sektor perdagangan.
Diskusi KPRI Jakarta menyimpulkan, pembangunan ekonomi Jakarta dilakukan bukan untuk memenuhi kebutuhan warga, tapi untuk kepentingan bisnis. Penggusuran rakyat miskin adalah konsekuensi dari model pembangunan yang seperti itu. “Orang miskin disingkirkan ke pinggir kota, dan dibiarkan tidak tumbuh. Tidak ada program penguatan ekonomi pemerintah untuk mereka,” ungkap Dika Mohammad, Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), sebuah organisasi rakyat miskin.
Adapun solusi penggusuran adalah reforma agraria perkotaan, yang bisa mencakup sertifikasi tanah untuk rakyat miskin dan pembatasan kepemilikan tanah bagi perusahaan serta orang kaya di Jakarta. Namun, untuk mewujudkan solusi seperti itu diperlukan kekuatan politik dan kekuatan massa yang besar. Selain itu, diperlukan juga persatuan antara gerakan rakyat miskin dengan gerakan sektor lain di Jakarta, seperti buruh. (MZH)
[1] Alldo Fellix Januardy et al., Kami Terusir: Laporan Penggusuran Paksa di Wilayah DKI Jakarta Januari-Agustus 2015, LBH Jakarta, 2015, hlm. 10-11 dan 17. Diunduh 26 Oktober 2015 dari http://www.bantuanhukum.or.id/web/wp-content/uploads/2015/08/Laporan-Penggusuran-Paksa-Jakarta.pdf.
[2] Aktual.com, “Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau di DKI Jakarta,” 4 September 2015, diunduh pada 26 Oktober 2015 dari http://www.aktual.com/alih-fungsi-ruang-terbuka-hijau-di-dki-jakarta/.
[3] “Banjir Berkurang, Harga Properti di 2 Daerah Ini Meroket,” Liputan6.com, 11 Februari 2015, diunduh pada 26 Oktober 2015 dari http://bisnis.liputan6.com/read/2174351/banjir-berkurang-harga-properti-di-2-daerah-ini-meroket.
[4] BPS Provinsi DKI Jakarta, Statistik Transportasi DKI Jakarta 2015, diunduh pada 26 Oktober 2015 dari http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Statistik-Transportasi-DKI-Jakarta-2015.pdf.
[5] BPS Provinsi DKI Jakarta, Produk Domestik Regional Bruto Provinsi DKI Jakarta Menurut Lapangan Usaha 2010-2014, hlm. 61. Diunduh pada 26 Oktober 2015 dari http://jakarta.bps.go.id/backend/pdf_publikasi/Produk-Domestik-Regional-Bruto-Menurut-Lapangan-Usaha-DKI-Jakarta-2010-2014.pdf.