Sabbang. Sekitar 1000 orang berkumpul dan memadati lapangan Sabbang, Luwu Utara. Sejak pukul 12.30 WITA, perwakilan pengurus wilayah dan daerah anggota AMAN tersebut memadati tenda-tenda yg telah disediakan panitia. Mereka mengenakan pakaian adat daerah masing-masing. Perwakilan komunitas-komunitas adat anggota AMAN ini berkumpul di sabbang guna menghadiri dan berpartisipasi dalam kegiatan rapat umum dan konsultasi nasional masyarakat adat tentang perubahan iklim.

Setelah melalui berbagai prosesi penyambutan dengan tari-tarian tradisional, rapat umum di mulai. Sebagai moderator adalah Arimbi Heroeputri yang juga anggota Komnas Perempuan. Tampil sebagai narasumber adalah Andri Triana (Kepala Bidang Kearifan Lingkungan Hidup di Kementrian Lingkungan Hidup), Sony Keraf (mantan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia) dan Indah Putri Indriani (Wakil Bupati Luwu Utara).

Pada kesempatan pertama, mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sony Keraf menyampaikan pandangannya. Sony Keraf menyatakan bahwa jika berbicara lingkungan maka tidak bisa mengabaikan masyarakat adat. Karena masyarakat adat mempunyai kearifan-kearifan tradisional dalam pengelolaan lingkungan hidup.Masyarakat adat harus mendesak pemerintah untuk menjelaskan manfaat atau benefit bagi masyarakat adat terkait dengan kerjasama pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara lain dalam program perubahan iklim.

Terkait dengan krisis pangan, pemerintah harus segera mengakui hak-hak masyarakat atas tanah. Karena jika hak masyarakat adat atas tanah diakui, maka masyarakat ada takan mengelola tanah-tanah tersebut yang akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan. Jika masyarakat adat berdaulat di atas tanahnya, maka dapat dipastikan kedaulatan atas pangan juga akan terjadi.

Pada kesempatan berikutnya, Wakil Bupati Kabupaten Luwu Utara menyampaikan beberapa hal terkait dengan kehidupan masyarakat adat di wilayah Luwu Utara. Di Tana Luwu hidup dan berkembang komunitas-komunitas adat yang masih mempraktekan sistem dan nilai-nilai tradisional dalam kehidupan sehari-hari.

Kearifan-kearifan tradisional ini adalah salah kekayaan yang ada di bumi Sawerigading. Ke depan, berbagai kearifan-kearifan adat ini harus dipertahankan dan dijaga kelestariannya. Disinilah peran kaum muda, yang akan mengambil alih tongkat estafet dalam melestarikan berbagai kearifan-kearifan adat tersebut.

Selanjutnya, Sekretaris Jendral AMAN menyampaikan pandangannya terkait dengan situasi terkini yang dihadapi masyarakat adat di Nusantara. Menurut Abdon Nababan, wilayah adat yang di dalam dan diatasnya mengandung sumber sumber agraria berupa tanah dan beragam sumber daya alam, merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat.

Namun, wilayah-wilayah adat itu kini dikuasai oleh pemerintah dalam bentuk Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pengusahaan Hutan dan sebagainya. Masyarakat adat ditaklukan oleh sistem perizinan yang menghilangkan hak-hak dasar, serta menyebabkan terjadinya pemiskinan dan kerawanan pangan.

Oleh karena itu, penting buat AMAN untuk mendorong dan membangun kemitraan dengan pemerintah untuk bersama-sama menyelesaikan masalah yang terkait dengan konflik-konflik agraria ini, lanjut Abdon.

Sebagai pembicara terakhir adalah Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional). Joyo Winoto merasa mendapat kehormatan berada di antara komunitas-komunitas adat yang dikatakannya sebagai soko guru bangsa tersebut. Kenapa dikatakan demikian, karena tetua tetua adat ini dengan sukarela mengintegrasikan diri dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan juga sebagai bentuk UUPA no 5 tahun 1960. UUPA adalah produk kebijakan yang hingga kini masih menjadi acuan dalam menata sistem pertanahan di Indonesia.

Tak bisa di pungkiri bahwa kehidupan masyarakat adat di Indonesia masih mengalami marjinalisasi. Misalnya, kehidupan orang Punan yang dikepung oleh aktifitas-aktifas ekonomi skala massif, seperti perkebunan kelapa sawit dan HPH/IPK. Sementara di tempat lain, ada masyarakat adat yang sedang berjuang menghadapi pertambangan. Semua konflik tersebut berkaitan dengan tanah. Oleh karena itu, untuk meredam konflik-konflik tersebut pemerintah harus melakukan reforma agraria atau penataan kembali sistem pertanahan.

Untuk itu, ada 2 hal yang harus dilakukan dalam program reforma agraria. Yang pertama adalah menata kembali politik hukum system pertanahan di Indonesia. Berbagai kebijakan pertanahan yang tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang harus dicabut dan di ganti dengan kebijakan yang relevan dengan situasi terkini. UU baru ini harus merujuk ke pasal 33 UUD 1945. Kedua, pemerintah akan melakukan Land Reform plus. Program ini ditujukan ke masyarakat yang sudah tinggal cukup lama di suatu kawasan tapi tidak mempunyai tanah. Mereka ini akan mendapatkan tanah.

Sementara itu khusus untuk masyarakat adat, penandatanganan nota kesepakatan antara AMAN dan BPN ini harus dijadikan momentum untuk saling membangun pengertian dan kesepahaman antara kedua institusi. Dengan MOU ini, diharapkan masyarakat adat memanfaatkan ruang yang terbuka ini untuk mengajarkan BPN tentang berbagai kearifan masyarakat adat terkait dengan penataan sistem pertanahan.

Sebagai puncak acara, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman atau MOU antara AMAN dengan BPN. Penandatanganan MOU ini disaksikan oleh Wakil Bupati Tana Luwu dan para undangan serta komunitas-komunitas adat yang hadir. MOU antara AMAN dan BPN ini bertujuan untuk meningkatkan peran masyarakat adat dalam upaya-upaya penciptaan keadilan rakyat dan kepastian hukum bagi masyarakat adat, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan di kalangan Badan Pertanahan Nasional dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam rangka meningkatkan pemahaman visi, misi, peran dan tugas masing-masing.
  2. Memformulasikan kebijakan untuk mengakomodasi hak-hak masyarakat adatnya dalam konteks pembaruan hukum dan peraturan perundang-undangan NKRI.
  3. Identifikasi dan inventarisasi keberadaan masyarakat adat dan wilayah adatnya sebagai landasan proses legalisasi menuju perlindungan hukum hubungannya antara wilayah adat dan masyarakat adatnya.
  4. Merumuskan mekanisme penanganan dan penyelesaian sengketa, konflik dan perkara pertanahan di wilayah masyarakat adat.
  5. Pengembangan model-model Reforma Agraria di wilayah adat, khususnya yang berada di luar kawasan hutan dan/atau dalam interaksinya dengan kawasan hutan.
  6. Piagam kerjasama ini berlaku selama 5 (lima) tahun sejak ditandatangani oleh kedua belah pihak, dan dapat diperpanjang pada periode berikutnya.
  7. Hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan akan dijabarkan dalam rencana kerja dan dilaksanakan melalui berbagai kegiatan operasional yang disepakati bersama.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *