TEMPO Interaktif, Lumajang – Aksi perusakan dan pembakaran terhadap permukiman warga suku Tengger di Dusun Tetelan, Desa Kandang Tepus, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, hingga Minggu, 16 Oktober 2011, masih terus berlangsung.

Perusakan dan pembakaran yang berlangsung sejak Sabtu, 8 Oktober 2011, telah melumatkan puluhan pondok warga serta sebuah musala. Satu-satunya tempat ibadah berukuran sekitar 64 meter persegi yang terbuat dari kayu dan bambu itu rata dengan tanah dan hanya tersisa puing-puing yang berserakan.

Hari ini, Minggu, 16 Oktober 2011, puluhan orang mengobrak-abrik lalu membakar sejumlah kandang ternak kambing milik warga. Pembakaran kandang kambing bahkan sudah berlangsung sejak Sabtu, 15 Oktober 2011. Satu per satu kandang kambing ludes dilalap api.

Sebuah bangunan yang digunakan sebagai balai pertemuan juga tidak lolos dari pembakaran. Balai pertemuan yang disebut Padepokan Den Bagus itu didirikan dua tahun lalu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Padepokan Den Bagus pimpinan Achmad Nur Huda yang biasa disapa Gus Mamak. “Aksi perusakan dan pembakaran itu sungguh biadab, tidak berperikemanusiaan,” kata Gus Mamak kepada Tempo, Minggu siang, 16 Oktober 2011.

Pada saat dilakukan pembakaran musala, para pelaku tidak mempedulikan sejumlah kitab suci Al-Quran yang juga ikut dilumat api. Sebelum melakukan pembakaran, pelaku menyita seperangkat alat pengeras suara, peralatan salat, seperti mukena dan sajadah. Bahkan satu unit genset yang dijadikan sumber energi untuk menyalakan listrik di musala juga ikut disita. Hingga saat ini, barang-barang yang disita tersebut tak diketahui keberadaannya.

Tempo dan sejumlah wartawan dari berbagai media yang meninjau tempat kejadian menjumpai warga yang tampak pasrah menyaksikan pondoknya yang telah hangus dimakan api. ”Kami di sini hanya mencari makan dengan menanam jagung, ketela pohon,” ujar Alas, salah seorang warga dengan usia di atas 60 tahun itu. Gurat kesedihan sangat tampak dari raut wajahnya yang sudah menua itu.

Warga Tengger tersebut telah turun-temurun menggantungkan hidup dengan cara berladang di hutan. Mereka hidup berpindah-pindah. Jagung dan ketela pohon mereka tanam dengan sistem tumpang sari, yakni menanamnya di sela-sela pepohonan besar di dalam hutan.

Setelah cukup lama melakukan pendekatan terhadap warga Tengger, sekitar dua tahun yang lalu, para aktivis Padepokan Den Bagus bergabung bersama warga untuk memberikan pendampingan. Mereka diajari cara bercocok tanam serta–ini yang penting–memberikan pengetahuan kepada warga untuk tidak merusak hutan. Mereka pun diberikan wawasan tentang budaya.

Secara perlahan-lahan, dari sekitar 200 kepala keluarga (KK), sudah 25 KK (sekitar 125 jiwa) yang bersedia bergabung dengan Padepokan Den Bagus. Mereka tidak lagi berladang secara berpindah-pindah, melainkan bermukim di suatu tempat. ”Mereka sebenarnya sudah paham tentang pentingnya fungsi hutan. Itu sebabnya mereka tidak lagi berladang di dalam hutan,” papar Gus Mamak.

Namun aksi perusakan dan pembakaran tersebut membuat warga merasa ditelantarkan. Apalagi sebelum dilakukan aksi perusakan dan pembakaran, warga diintimidasi oleh sejumlah orang yang mengaku suruhan pihak Perhutani. Warga pun dituduh melakukan pembalakan liar. Karena merasa takut, warga lari bersembunyi di tengah hutan. ”Tuduhan itu aneh. Justru warga Tenggerlah yang beberapa kali memergoki aksi pembalakan liar yang dilakukan oleh sekelompok orang,” ucap Gus Mamak.

Keberadaan warga Tengger di bawah pembinaan Padepokan Den Bagus telah mendapat perhatian berbagai kalangan. Mereka kerap dikunjungi sejumlah mahasiswa, di antaranya dari Sekolah Tinggi Agama Islam Jawa Timur. Demikian juga Badan Amil Zakat Kabupaten Lumajang dan Provinsi Jawa Timur untuk memberikan bantuan.

Gus Mamak belum bisa memastikan siapa pelaku intimidasi maupun pelaku perusakan dan pembakaran. Namun Gus Mamak, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, itu menduga aksi perusakan dan pembakaran, yang disebut Gus Mamak sebagai upaya pengusiran terhadap warga Tengger, dilakukan jaringan pelaku pembalakan yang merasa kegiatan mereka terusik oleh keberadaan warga Tengger.

Itu sebabnya Gus Mamak telah menghubungi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang dan sedang mempertimbangkan untuk membuat pengaduan kepada Komnas HAM.

Hingga saat ini, aparat kepolisian pun masih melakukan penyelidikan untuk mengetahui siapa pelaku perusakan dan pembakaran. ”Belum tahu siapa pelakunya,” kata Kepala Kepolisian Sektor Senduro Ajun Komisaris Polisi Junaidi kepada Tempo, Senin siang, 16 Oktober 2011.

Kendati demikian, Junaidi menuding warga melakukan kesalahan karena menghuni lahan milik Perhutani. “Kandang kambing warga didirikan di atas lahan yang diklaim Perum Perhutani. Jadi wajar pihak Perhutani membakar kandang itu,” ucap Junaidi. Namun Junaidi membantah pembakaran musala dan balai pertemuan atas inisiatif Perhutani.

Kepolisian Resor Lumajang bahkan telah menahan empat warga Tengger dengan tuduhan melakukan perambahan hutan serta pembalakan liar di petak 24 B. Empat warga tersebut, Surya, Halimah, Jumat, serta Legiman, mendekap di tahanan Mapolres Lumajang sejak Selasa, 11 Oktober 2011.

Hingga berita ini ditulis, Tempo belum berhasil mendapatkan konfirmasi dari pihak Perhutani Lumajang. Namun sebelumnya, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Hukum Agraria Kesatuan Pemangkunan Hutan (KPH) Probolinggo yang membawahi Perhutani Lumajang, Gatot, mengatakan kawasan seluas 60 hektare yang dihuni warga Tengger termasuk kawasan hutan lindung. “Aturannya sudah jelas, dilarang mendirikan permukiman di kawasan hutan lindung,” katanya. Menurut Gatot, jika warga ingin menggarap lahan tersebut, harus terlebih dahulu bergabung dalam Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH).

Namun Gatot tidak bisa menjelaskan mengapa keberadaan warga Tengger itu baru dipersoalkan sekarang serta mengapa harus dilakukan dengan cara merusak dan membakar.

Aksi perusakan dan pembakaran terhadap permukiman warga Tengger tersebut telah diketahui Pemerintah Kabupaten Lumajang. Senin besok, 17 Oktober 2011, Wakil Bupati Lumajang As’at Malik akan memanggil pejabat Perhutani untuk dimintai penjelasan. Gus Mamak pun sudah mendapat pemberitahuan untuk hadir dalam pertemuan tersebut untuk mewakili warga.

 

DAVID PRIYASIDHARTA

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *